Tindakan pidana pencucian uang menggunakan kripto (cryptocurrency) mencapai US$ 8,6 miliar atau Rp 123 triliun tahun lalu. Aset digital ini diperoleh dari hasil meretas atau tindak pidana lainnya.
"Angka itu naik 30% dibandingkan 2020," kata perusahaan analisis blockchain Chainalysis dikutip dari Reuters, Kamis (27/1)
Secara keseluruhan, tindakan pencucian uang menggunakan kripto lebih dari US$ 33 miliar atau Rp 473 triliun sejak 2017. Menurut Chainalysis, pelaku menyasar bursa terpusat.
Sekitar 17% dari US$ 8,6 miliar aset kripto yang masuk kategori tindak pidana pencucian uang (TPPU) tahun lalu, dijalankan di aplikasi keuangan terdesentralisasi. Angkanya naik dari hanya 2% pada 2020.
Chainalysis menyebut, pencucian uang menggunakan kripto merupakan proses menyamarkan asal usul uang yang diperoleh secara ilegal. Kemudian, pelaku mentransfernya ke bisnis yang sah.
Perusahaan mencatat, US$ 8,6 miliar nilai pencucian uang tahun lalu merupakan dana yang berasal dari kejahatan crypto-native. Dana ini berasal dari penjualan data yang dicuri darknet maupun serangan ransomware.
Keuntungan itu kemudian diambil dalam bentuk kripto. "Jadi lebih sulit untuk mengukur berapa banyak mata uang fiat yang berasal dari kejahatan offline. Misalnya perdagangan narkoba tradisional diubah menjadi kripto untuk dicuci,” kata Chainalysis.
Chainalysis mengatakan, peningkatan tajam aktivitas pencucian uang menggunakan kripto pada 2021 itu seiring pertumbuhan signifikan dari aktivitas transaksi yang sah dan ilegal.
Selain itu, adopsi kripto meningkat di berbagai negara. Tahun lalu, situs perbandingan produk keuangan Finder.com mencatat bahwa transaksi cryptocurrency di 27 negara di Eropa, Asia, dan Amerika melonjak 881%.
Tingkat adopsi mata uang kripto yang sangat tinggi terjadi di banyak negara Asia. Sebanyak 30% responden di Indonesia dan India mengklaim telah membeli kripto.
Disusul oleh Malaysia 29% dan Filipina 28%. Sedangkan tingkat adopsi terendah di Inggris dan Amerika Serikat masing-masing 8% dan 9%.
Di Indonesia, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat, jumlah pelanggan aset kripto di perdagangan mencapai 7,5 juta orang akhir tahun lalu. Angkanya melonjak hampir dua kali lipat atau 87,5 % dibandingkan 2020, yakni empat juta orang.
Nilai transaksi kripto di Tanah Air juga meningkat 636,15% menjadi Rp 478,5 triliun hingga Juli 2021. Nilai ini naik signifikan dibandingkan 2020 yakni Rp 65 triliun.