Selebritas dan influencer seperti Anang Hermansyah dan Wirda Mansur meluncurkan token kripto. Sebagian lainnya menjual non fungible token alias NFT. Bagaimana risikonya?
Koin kripto berbeda dengan token kripto. Koin kripto seperti bitcoin dan ethereum. Sedangkan contoh token yakni Tether (USDT), USD Coin (USDC), DAI, UMA, dan Basic Attention Token (BAT).
ASIX besutan Anang Hermansyah dan I-COIN buatan putri Ustaz Yusuf Mansur, Wirda Mansur termasuk dalam token kripto.
Sedangkan NFT adalah aset digital yang menggambarkan objek asli seperti karya seni, musik, atau item yang terdapat pada video dan game. Aset digital ini tidak dapat digandakan atau diganti, sehingga menjadi satu-satunya.
Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom Alfons Tanujaya menyampaikan, ada lima risiko yang harus diperhatikan dalam membeli koin dan token kripto, yakni:
1. Volatilitas harga yang luar biasa tinggi
Harga bitcoin misalnya, mencapai US$ 40 ribu pada Januari 2021. Lalu melonjak menjadi US$ 63 ribu pada April 2021.
Namun kemudian melorot menjadi US$ 29.800 pada Juli 2021. Lalu naik lagi menjadi US$ 69 ribu per November 2021. Kemudian turun lagi pada Desember 2021.
“Kalau mata uang kripto terbaik memiliki fluktuasi seperti ini, banyak yang lain bisa naik tinggi, lalu turun, dan tidak naik lagi,” kata Alfons dalam keterangan pers, Senin (14/2).
2. Tidak ada regulator atau lembaga yang mengontrol karena bergantung pada blockchain yang terdesentralisasi
3. Sifat transaksi tidak dapat dibatalkan, sekalipun terjadi karena aksi kriminal
4. Transaksinya 100% bergantung pada saluran digital. Maka, aset akan hilang selamanya dan tidak mungkin kembali, jika kode rahasia kredensial (private key) hilang atau berhasil dicuri.
“Langkah pertama yang harus dilakukan sebelum memiliki aset kripto yakni Anda sudah menguasai cara mengamankan aset kripto digital dengan baik. Disarankan menggunakan dompet cold storage,” ujar Alfons.
5. Exchange ada tempat bertransaksi kripto, mengembangkan, serta menyimpan aset kripto
Jika exchange mengalami kebangkrutan atau peretasan, maka aset kripto Anda yang disimpan di exchange juga akan ikut dicuri dan tidak ada jaminan terhadap keamanan. Ini berbeda dengan saham di pialang saham.
“Jika (saham) dicuri, masih bisa dilacak dan dibatalkan jika terjadi aksi krimimal pada saham yang Anda miliki,” kata Alfons.
Sebelumnya Bank Indonesia (BI) juga mengatakan, perdagangan aset kripto bisa berdampak terhadap stabilitas sistem keuangan di Indonesia, tetapi terbatas. Ini karena perdagangan aset kripto masih bersifat tahap awal (early stage).
“Fasilitas yang dimiliki pedagang masih terbatas pada spot trading dengan jumlah transaksi aset kripto masih kecil bila dibandingkan dengan transaksi saham,” tulis bank sentral dalam Kajian Stabilitas Keuangan nomor 37 yang diluncurkan akhir tahun lalu (5/10/2021).
Meski begitu, BI menegaskan bahwa perkembangan dampak transaksi aset kripto harus terus dimonitor. Ini karena ada beberapa risiko menonjol dan minat investasi masyarakat yang berpeluang terus meningkat.
BI pun menjabarkan beberapa risiko dari aset kripto, yaitu:
1. Risiko pasar
Ini muncul dari volatilitas harga aset tanpa ada transaksi jaminan atau underlying. Ini menyebabkan valuasi menjadi sulit dilakukan.
2. Risiko kredit
Risiko ini muncul jika dana yang digunakan masyarakat untuk berinvestasi berasal dari pinjaman lembaga keuangan.
3. Risiko disintermediasi
Itu sejalan dengan shifting penggunaan dana untuk tujuan investasi di aset kripto yang dapat berdampak pada penurunan pembiayaan ke sektor riil. Ini terutama jika nilai transaksi tumbuh signifikan.
Menurut BI, literasi masyarakat terkait risiko investasi aset kripto harus ditingkatkan. Sebab, bisa saja masyarakat tergiur dengan kenaikan harga aset kripto yang sangat signifikan dalam jangka pendek.
Padahal, aset kripto juga memiliki risiko tinggi karena volatiltas harga yang tinggi dan tanpa adanya transaksi underlying.