Pemerintah akan memberlakukan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak pertambahan Nilai (PPN) atas aset kripto per 1 Mei. Pedagang cryptocurrency Indodax dan Tokocrypto menilai, besaran pajak kripto yang dikenakan terlalu memberatkan.
Ketentuan pajak kripto tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 tahun 2022. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam beleid itu, setiap transaksi dari kripto akan dikenakan PPN. Tarifnya 1% dari PPN 11% atau 0,1% dikali dengan nilai transaksi, jika melalui perdagangan fisik. Ditambah dengan 2% dari tarif PPN atau 0,2% dikali dengan nilai transaksi, jika melalui bukan pedagang fisik.
Selain itu, penghasilan yang diterima dari penjualan kripto dikenakan PPh final. Tarifnya 0,1% dari nilai transaksi, jika dilakukan melalui pedagang fisik dan 0,2% bila penyelenggaranya bukan pedagang fisik.
CEO Indodax Oscar Darmawan mengatakan, pengenaan pajak kripto akan menambah legalitas industri. Ini menandakan bahwa kripto sudah menjadi aset atau komoditas yang sah di mata hukum negara.
Namun, ia menilai besaran pajak tersebut memberatkan. "Nilai PPN dan PPh total jadi 0,2%. Di sisi lain, investor sudah dibebankan fee exchange 0,3%," kata Oscar kepada Katadata.co.id, Kamis (7/4).
“Kalau ditambah dengan besaran pajak yang baru, konsumen akan kena fee hampir dua kali lipat dari sekarang,” tambah dia.
Ia berharap besaran pajak hanya 0,05% masing-masing untuk PPN dan PPh. Dengan begitu, total pajak yang dikenakan di industri 0,1%.
Perhitungan itu mengacu pada pajak perdagangan saham yang totalnya mencapai 0,1%. "Saya berharap, besaran pajak untuk kripto pun disamakan," katanya.
Ia khawatir konsumen akan terbebani jika tarif pajak terlalu besar. Akibatnya, konsumen tidak tertarik dengan industri kripto dalam negeri dan justru lari ke pasar luar negeri.
COO Tokocrypto Teguh K Harmanda juga menilai, besaran pajak kripto seharusnya mengikuti perkembangan industri. Saat ini, industri aset kripto di Indonesia masih baru.
"Jadi butuh kajian kepastian regulasi yang tepat dan tidak mengekang," katanya.
Pajak yang terlalu tinggi akan membuat investor merasa rugi dan tidak adil. Sebab, investor dikenakan pajak jika untung. Namun tak memperoleh pengurangan pajak saat rugi.
"Padahal yang namanya investasi di instrumen berisiko tinggi, akan penuh dengan ketidakpastian," kata Manda.
Sebelumnya, pemerintah memberlakukan PPN atas kripto karena aset digital itiniu dianggap sebagai komoditi yang termasuk dalam objek PPN sebagaimana UU PPN.
Dasar pengenaan PPh atas kripto karena penghasilan dari perdagangan aset kripto dihitung sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak. Ini sebagaimana diatur dalam UU PPh.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkirakan, potensi penerimaan negara dari pengenaan PPN atas transaksi kripto lebih dari Rp 1 triliun.
"Total transaksi kripto ini sekitar Rp 850 triliun. Coba dikali 0,2%, jadi sekitar Rp 1 triliun," kata Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa dan PTLL Bonarsius Sipayung dalam diskusi dengan media, Rabu (6/4).
Ia mengatakan, potensi jumbo penerimaan tersebut bisa dioptimalkan untuk mempertebal bantuan sosial kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat kaya yang berinvestasi di kripto ini juga ikut berkontribusi ke negara.
Apalagi, transaksi kripto di Indonesia terus meningkat. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat nilai transaksi pada tahun lalu Rp 859,4 triliun. Nilainya melonjak 1.222,8% dibandingkan tahun 2020 yang hanya Rp 64,9 triliun.
Lonjakan mulai terlihat sejak memasuki kuartal kedua 2021. Dalam dua bulan pertama tahun ini, nilai transaksi kripto juga sudah mencapai Rp 83,8 triliun. Ini lebih besar dibandingkan nilai transaksi untuk keseluruhan tahun lalu.