Pasar aset kripto mengalami koreksi signifikan dalam seminggu terakhir, dengan Bitcoin dan Etherum mengalami tren penurunan lebih dari 20 persen. Namun yang paling parah adalah Terra Luna, yang turun hingga 90 persen. Kondisi ini menyebabkan pasar aset kripto kehilangan separuh nilainya setelah mengalami all time high dari November 2021.
Kendati sama-sama menghadapi koreksi, menurut Head of Growth Zipmex Indonesia, Siska Lestari, kondisi tren penurunan aset pada Mei 2022 ini berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi April lalu. Terlepas dari sifat aset kripto yang terdesentralisasi, tetapi masih rentan terhadap sentimen pasar. Memasuki kuartal kedua 2022, perkembangan dan pergerakan pasar aset kripto bisa dibilang cukup stagnan dan cenderung mengalami penurunan.
“Kondisi pasar yang terkoreksi bersifat sementara serta bukan fenomena yang baru terjadi untuk pertama kali. Ketika sentimen pulih, nilai pasar pun akan kembali menguat," jelasnya dalam keterangan yang diterima Katadata.co.id, Sabtu (14/5).
Koreksi harga pada Mei 2022 terjadi karena beberapa alasan. Alasan terbesar adalah keputusan The Fed menerapkan Kebijakan Hawkish untuk mengendalikan inflasi. Beberapa langkah yang ditempuh The Fed adalah menaikkan suku bunga acuan secara bertahap serta menerapkan Quantitative Tightening (QT).
Kebijakan ini membuat tingkat penawaran dan permintaan di pasar menjadi rendah, serta harga saham menurun. Hasilnya, investor cenderung memilih untuk memindahkan investasi mereka dari saham dan ekuitas ke instrumen tradisional seperti dolar AS, karena dianggap lebih stabil dan tidak spekulatif.
Berikut penurunan nilai mata uang kripto:
Selain itu, beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi koreksi pasar aset kripto belakangan ini adalah kekhawatiran terhadap dampak pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat dan ancaman resesi ekonomi, meningkatnya jumlah kasus Covid-19 di Cina, dan perang di Ukraina.
Hal senada juga diungkapkan Analis dan praktisi hukum di Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen. Menurutnya, perang antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan terganggunya pergerakan ekonomi di Eropa dan kenaikan faktor suku bunga pinjaman, mengakibatkan inflasi yang cukup tinggi dan akan terus naik.
Hal ini membuat para investor cenderung menjual aset yang berisiko, seperti mata uang kripto.
“Selama perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung kemungkinan kripto akan terus turun karena kinerja stablecoin Terra USD juga terus memburuk. Selain itu, pasar kripto juga menunjukkan arah bubble karena memang overvalue. Koreksi terhadap harga akan terjadi cepat atau lambat,” kata Hendra dikutip dari Antara, Sabtu (14/5).
Meski begitu, Hendra menilai gelembung harga kripto belum akan pecah. Sebab jika melihat tren kenaikan dan penurunan harga kripto selama ini, penurunan tajam kerap diikutip dengan kenaikan tinggi. "Tidak ada ukuran jelas untuk memprediksi nilai aktual aset tanpa fundamental adalah salah satu alasan kripto termasuk produk berisiko dan berbahaya untuk investasi,” ucapnya.
Sementara CEO Indodax, Oscar Darmawan, melihat penurunan harga kripto terjadi karena aksi jual yang terjadi lebih banyak daripada aksi beli oleh para investor. Fenomena ini membuat penawaran yang ada di pasar lebih banyak daripada permintaannya.
Aksi jual ini, menurutnya, terjadi akibat sentimen negatif yang terjadi belakangan ini karena kebijakan kenaikan suku bunga The Fed.
"Kebijakan ini bertujuan untuk meredam inflasi di Amerika yang sedang melonjak. Oleh karena itu, tidak heran jika para 'whales' memilih untuk menjual aset kripto-nya dan keluar terlebih dahulu,” jelas Oscar dalam keterangan resmi, Jumat (13/5).
Whales merupakan sebutan untuk investor besar pada pasar kripto, sehingga memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan harga aset kripto.
Melihat pasar kripto yang sedang menurun cukup signifikan, Oscar menilai bahwa investor cenderung menunggu sehingga membuat pergerakan dari pasar kripto cenderung bergerak lambat untuk bullish kembali.