Asosiasi Respons Aturan Baru OJK Batasi Bank Beri Kredit Lewat Fintech

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Direktur Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta (kiri) menyampaikan paparan dalam sosialisasi layanan sistem elektronik pencatatan inovasi keuangan digital di ruangan OJK 'Innovation Center for Digital Financial Technology' (Infinity), Jakarta, Selasa (29/10/2019).
21/7/2022, 15.00 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan aturan baru terkait teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) alias pinjaman online. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menilai, regulasi anyar ini membuat pelaku usaha di industri ini lebih diakui.

Aturan baru itu berupa Peraturan OJK atau POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Regulasi ini memuat  pembatasan penyaluran dana dari pemberi pinjaman (lender) institusi seperti bank, melalui pinjol, serta minimal modal yang disetor.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menilai, aturan baru itu sesuai dengan ekspektasi para penyelenggara fintech lending. Melalui regulasi ini, penyedia layanan pinjaman online menjadi lebih dianggap selayaknya Lembaga Jasa Keuangan (LJK).

"Fintech lending bukan lagi dipandang sebagai industri yang masih dalam sandbox atau tahap uji coba," kata Adrian dalam keterangan resmi, Kamis (21/7).

Menurutnya, aturan baru OJK juga akan memperluas kesempatan kerja sama antara penyelenggara fintech lending dengan lembaga keuangan lainnya seperti bank.

"Ini untuk mendukung pelayanan dan meningkatkan daya saing industri, serta membuka akses layanan keuangan ke masyarakat yang lebih inklusif," ujarnya.

Asosiasi juga menilai POJK 10/2022 akan memperkuat perlindungan terhadap konsumen. Sebab, dalam peraturan baru ini banyak klausul yang mengatur mengenai perlindungan terhadap konsumen, perlindungan kerahasiaan data pribadi, serta peningkatan kompetensi bagi penyelenggara.

AFPI berharap, aturan itu dapat meningkatkan keyakinan masyarakat, baik investor, lender maupun peminjam (borrower) terhadap fintech lending .

Berdasarkan data OJK, penyaluran dana dari fintech lending mencapai Rp 18,62 triliun pada Mei. Nilainya naik 3,96% secara bulanan (month-on-month/mom) dibanding April Rp 17,91 triliun. 

Sedangkan jika dilihat secara tahunan, penyaluran pinjaman meningkat sekitar 41,48% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibanding Mei 2021 Rp 13,16 triliun.

Sebanyak Rp 7,28 triliun pinjaman atau 39,13% diberikan kepada sektor produktif. Dari jumlah ini, Rp 2,45 triliun di antaranya disalurkan untuk sektor perdagangan besar dan eceran.

Pinjaman yang disalurkan ke sektor pertanian, perhutanan, dan perikanan mencapai Rp 117,40 miliar.

Sebelumnya, Deputi Komisioner Humas dan Logistik Anto Prabowo menjelaskan bahwa aturan baru OJK itu dikeluarkan untuk mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan. Selain itu, mempermudah dan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat dan pelaku usaha melalui suatu layanan pendanaan berbasis teknologi informasi.

POJK ini juga merupakan penyempurnaan dari POJK sebelumnya Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

"POJK ini berlaku sejak diundangkan pada 4 Juli dan sekaligus mencabut POJK 77/2016," kata Anto dalam siaran pers, dikutip pekan lalu (16/7).

Ia menjelaskan, terdapat sejumlah ketentuan yang berlaku dalam POJK baru itu. Misalnya, penyelenggara fintech lending harus didirikan dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas dengan modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp 25 miliar.

Kemudian, penyelenggara wajib memiliki paling sedikit satu pemegang saham pengendali (PSP). Lalu, penyelenggara harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari OJK. 

POJK itu juga diatur mengenai pembatasan penyaluran kredit oleh lender institusi, termasuk bank. Batas maksimum pendanaan oleh setiap pemberi dana dan afiliasinya paling banyak 25% dari posisi akhir pendanaan pada akhir bulan.

OJK menggodok aturan yang membatasi lender institusi menyalurkan kredit lewat penyelenggara fintech lending sejak tahun lalu. Ini bertujuan mengurangi ketergantungan fintech terhadap bank.

Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B Bambang W Budiawan mengatakan, otoritas akan memperjelas kriteria lender institusi lewat regulasi tersebut, terutama yang berasal dari luar negeri. Ini agar fungsi pengawasan lebih efektif dan terukur. 

Selain itu, penyaluran kredit lender institusi seperti bank, dibatasi 25% dari total outstanding tahunan penyelenggara fintech lending. "Ketergantungan platform sangat tinggi pada lender tertentu," kata Bambang kepada Katadata.co.id, tahun lalu (26/11/2021).

Menurutnya, platform fintech lending dengan jumlah lender institusi yang sedikit tetapi menguasai akumulasi kredit, kurang baik dari sisi manajemen risiko. "Lender dapat mengendalikan penyelenggara fintech," ujarnya.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan