Investasi ke startup fintech termasuk pembayaran dan pinjol anjlok 74,5% dari US$ 3 miliar pada 2021 menjadi US$ 765 juta tahun lalu. Padahal sektor ini sempat menjadi primadona investor.
Rincian pendanaan ke startup fintech Indonesia menurut riset Algo Research sebagai berikut:
- 2016 : US$ 560 juta atau Rp 9 triliun (kurs Rp 16.100 per US$)
- 2017 : US$ 126 juta atau Rp 2 triliun
- 2018 : US$ 1,8 miliar atau Rp 28,8 triliun
- 2019 : US$ 1,4 miliar atau Rp 22,4 triliun
- 2020 : US$ 1,7 miliar atau Rp 27,2 triliun
- 2021 : US$ 3 miliar atau Rp 48,5 triliun
- 2022 : US$ 1,6 miliar atau Rp 25,6 triliun
- 2023 : US$ 765 juta atau Rp 12,3 triliun
- Semester pertama 2024: US$ 128 juta atau Rp 2 triliun
“Pendanaan ke startup fintech selama semester pertama tahun ini turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$ 329 juta,” demikian dikutip.
Algo Research menyebutkan, startup fintech kerap disebut dapat mengakselerasi literasi keuangan masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan seperti bank atau dikenal dengan istilah underbanked atau unbankable.
Selain itu, sekitar 75% UMKM di Indonesia tidak punya akses ke perbankan, meski berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.
"Ternyata, penggunaan istilah-istilah yang kedengarannya canggih seperti underbanked atau unbankable hanyalah cara yang dilakukan oleh investor modal ventura untuk menopang valuasi dan tidak ada kaitannya dengan bisnis sebenarnya yang mendasari fundamental," demikian isi laporan Algo Research bertajuk 'Fintech P2PL: Struggling With New Realities', dikutip Kamis (18/7).
Menurut Algo Research, startup fintech di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, termasuk regulasi, penurunan kualitas aset, dan perlambatan pertumbuhan.
Dari sisi regulasi, OJK atau Otoritas Jasa Keuangan menerapkan kewajiban memenuhi tingkat modal tertentu untuk startup fintech lending. Selain itu, mengatur bunga pinjaman dan persentase penyaluran kredit ke sektor produktif.
OJK menerapkan aturan penurunan suku bunga maksimal 2024 - 2026 yang tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023. Rincian bunga pinjol sebagai berikut:
Bunga pinjaman produktif:
- 0,1% per hari kalender dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian. Berlaku selama 2024 - 2026.
- 0,067% per hari kalender dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian. Berlaku mulai 2026.
Konsumtif atau pinjaman di bawah setahun:
- 2023: 0,4%/hari atau 146%/tahun
- 2024 : 0,3% per hari kalender dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian.
- 2025 : 0,2% per hari kalender dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian
- 2026 : 0,1% per hari kalender dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian.
"Oleh karena itu, suku bunga yang dibebankan oleh fintech pada 2026 akan lebih sejalan dengan bank konvensional," demikian dikutip.
Algo Research menilai, regulasi itu menguntungkan fintech karena dapat mendatangkan lebih banyak nasabah yang tidak terlalu sensitif terhadap harga dan tidak seketat bank.
Akan tetapi, fintech yang menargetkan kelompok nasabah yang lebih berisiko tanpa agunan, tidak dapat mengenakan suku bunga yang lebih tinggi untuk mengimbangi risiko. Pada akhirnya akan menyebabkan berkurangnya keuntungan.
OJK juga memperketat regulasi terkait penagihan utang untuk melindungi nasabah dari intimidasi. Aturan ini dinilai menyulitkan penagihan, yang dapat menimbulkan masalah kualitas aset bagi pelaku fintech dengan proses verifikasi nasabah yang lunak.
"Semua ini pada akhirnya akan berujung pada berkurangnya keuntungan bagi fintech lending," kata peneliti.
Industri fintech lending tercatat merrugi Rp 135,61 miliar pada Januari 2024. Padahal sektor ini catat untung Rp 4,43 triliun sepanjang tahun lalu.
"Rugi ini karena meningkatnya pinjaman bermasalah akibat melambatnya ekonomi," katanya.
Dari sisi kualitas aset atau pinjaman, tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari alias TWP 90 industri pinjol 2,91% per Mei naik dibandingkan April 2,79%. Nilainya yakni Rp 1,87 triliun pada Mei, naik dibandingkan April Rp 1,75 triliun.
Dengan Return on Equity (ROE) dan Return on Asset (ROA) kurang dari 5%, untuk risiko tertentu, sektor fintech lending dinilai tidak menarik karena biayanya tetap tinggi dan jalur menuju profitabilitasnya dipertanyakan.