Edisi Khusus | Bulan Inklusi Keuangan

Dilarang OJK karena Memberatkan Konsumen, Apa itu Skema Tadpole?

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
OJK
Penulis: Kamila Meilina
29/10/2025, 14.27 WIB

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK resmi melarang praktik Skema Pembayaran Kecebong atau Tadpole Repayment Scheme di industri pinjaman daring alias fintech lending. Apa sebenarnya skema pembayaran Kecebong dan bagaimana cirinya?  

Melansir laman resmi OJK, larangan bertujuan melindungi konsumen dari pola cicilan yang dianggap memberatkan di awal masa pinjaman dan berpotensi melanggar batas bunga maksimum yang telah diatur. 

Larangan itu disampaikan melalui Surat Pengawasan dan Pembinaan OJK Nomor S-305/PL.12/2025 pada 12 September. Hal ini berlaku untuk seluruh penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi atau LPBBTI di Indonesia.

Skema pembayaran Kecebong adalah metode cicilan di mana porsi pembayaran terbesar dibebankan di awal masa pinjaman alias front-loaded installments. Dengan kata lain, nasabah harus membayar angsuran sangat tinggi pada bulan-bulan pertama, sementara sisa pembayaran di periode berikutnya menjadi jauh lebih kecil.

Atas hal ini, Ketua Bidang Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau AFPI Kuseryansyah memastikan asosiasi dan fintech lending yang berizin OJK menjalankan kegiatan usaha yang sesuai ketentuan dan prinsip tata kelola yang baik. 

“Setiap inovasi atau skema bisnis baru di industri fintech harus memastikan perlindungan konsumen, transparansi, serta menjaga stabilitas sistem keuangan,” kata Kuseryansyah kepada Katadata.co.id, Selasa (28/10). 

Ia juga mengingatkan skema pembayaran yang tak sesuai dengan ketentuan ini bisa menimbulkan risiko bagi konsumen dan industri. Misalnya, potensi ketidakseimbangan antara pemberi dan penerima pinjaman, ketidaksesuaian dalam pencatatan transaksi, serta penurunan kepercayaan publik terhadap industri fintech lending secara keseluruhan.

Risiko Skema Pembayaran Tadpole

Meski tampak menguntungkan karena tenor pelunasan bisa lebih singkat, pola ini dinilai tidak adil bagi konsumen. “Skema ini dinilai memberatkan konsumen karena memberikan tekanan keuangan yang besar tepat di awal masa pinjaman,” demikian dikutip dari laman resmi OJK pada Selasa (28/10). 

Istilah Kecebong diambil dari bentuk pola pembayaran angsurannya yang menyerupai ekor kecebong, yakni besar di awal dan mengecil di belakang. Dalam skema ini, nasabah dibebankan cicilan yang sangat besar pada awal masa pinjaman, sementara angsuran berikutnya akan menurun seiring waktu.

Nasabah meminjam Rp10 juta selama enam bulan misalnya. Pada dua bulan pertama, ia diwajibkan membayar Rp3 juta per bulan, sementara empat bulan sisanya hanya Rp1 juta per bulan.

Pola seperti itu dinilai membuat nasabah menanggung beban keuangan yang berat di awal masa pinjaman, terutama bagi mereka yang memiliki penghasilan tidak tetap.

Meskipun sekilas tampak menguntungkan karena cicilan menurun di akhir periode, skema Kecebong justru menimbulkan tekanan finansial besar di awal dan meningkatkan risiko gagal bayar. Hal inilah yang kemudian menjadi sorotan utama OJK.

Menurut hasil pengawasan OJK, skema Kecebong mengandung sejumlah risiko serius, di antaranya:

  • Beban awal yang tidak wajar, karena cicilan tinggi di awal periode pinjaman memberikan tekanan keuangan berlebihan bagi peminjam.
  • Pelanggaran batas margin ekonomi, sebab struktur bunga dan imbal hasil pinjaman secara terselubung dapat melebihi batas yang ditetapkan regulator.
  • Dampak reputasional, karena praktik ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech lending yang sedang tumbuh di Indonesia.

Sebagai bagian dari kebijakan pembenahan, OJK juga menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 19/SEOJK.06/2025 yang menetapkan batas bunga dan margin ekonomi baru untuk industri fintech lending. Tujuannya agar biaya pinjaman tetap proporsional dan tidak memberatkan masyarakat.

Berikut ketentuan batas margin ekonomi tersebut:

Pinjaman Produktif (untuk modal usaha)

  • Plafon hingga Rp50 juta:
    • Maksimal 0,275% per hari untuk tenor hingga 6 bulan.
    • Maksimal 0,1% per hari untuk tenor di atas 6 bulan.
  • Plafon di atas Rp50 juta:
    • Maksimal 0,1% per hari.

Pinjaman Konsumtif (untuk kebutuhan pribadi)

  • Maksimal 0,3% per hari untuk tenor hingga 6 bulan.
  • Maksimal 0,2% per hari untuk tenor di atas 6 bulan.

Seluruh platform fintech lending di Indonesia dilarang menerapkan skema pembayaran Kecebong. Sebelumnya, OJK telah memberi waktu kepada seluruh platform fintech lending hingga 30 September 2025 untuk menghentikan seluruh penerapan skema tersebut dan melakukan penyesuaian sistem pembayaran agar sesuai dengan ketentuan baru.

Selain itu, setiap penyelenggara wajib melaporkan bukti pembinaan dan langkah korektif kepada OJK sebagai bentuk kepatuhan. Laporan ini akan menjadi dasar evaluasi dalam pengawasan lanjutan.

Bagi platform yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, OJK akan menjatuhkan sanksi administratif, mulai dari pembatasan kegiatan usaha (business restriction) hingga uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) ulang terhadap direksi dan manajemen perusahaan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Kamila Meilina