ATSI Prediksi Investasi Sistem Blokir IMEI Capai Rp 200 M per Operator

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Pedagang memeriksa nomor identitas ponsel (IMEI) dagangannya di Jakarta, Jumat (5/7/2019). Pemerintah akan mengeluarkan regulasi untuk memblokir ponsel selundupan atau \"black market\" melalui validasi database nomor indentitas ponsel (IMEI) pada Agustus 2019.
Editor: Sorta Tobing
3/8/2019, 14.30 WIB

Asosiasi Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Indonesia (ATSI) memprediksi biaya investasi yang harus dikeluarkan dalam membangun sistem untuk pemblokiran International Mobile Equipment Identity (IMEI) mencapai Rp 200 miliar per operator. Nantinya, sistem yang bernama Equipment Identity Registration (EIR) itu memungkinkan operator untuk mengontrol akses ke jaringan seluler dalam mencegah pencurian maupun penipuan telepon seluler (ponsel).

Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys mengatakan, asosiasinya mendukung implementasi aturan IMEI di Indonesia. Seluruh operator sudah siap untuk mengintegrasikan data IMEI yang ada di perusahaannya ke sistem EIR.

Namun, ia juga berharap aturan itu tidak membebani para operator dalam membangun sistem tersebut. "Kami minta agar diringankan saja beban (biaya investasi) ini," ucap Merza usai acara Indonesia Technology Forum di Jakarta, Jumat (2/8).

Menurut dia, hingga saat ini operator belum mendapat gambaran secara rinci mengenai kebutuhan, pembagian tugas, termasuk alat yang perlu disiapkan dalam menyambut aturan IMEI tersebut. "Masih banyak PR (pekerjaan rumah) kami. Jadi, kami harap hal ini bisa segera disepakati bersama (dengan pemerintah)," katanya.

ATSI mencatat, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh operator, antara lain soal mekanisme blokir dan membuka blokir dari operator, registrasi IMEI perangkat bawaan pribadi dari luar negeri, pusat layanan konsumen, serta mitigasi fenomena IMEI di lapangan seperti duplikasi dan kloning IMEI.

Operator perlu membuat sistem tambahan untuk urusan blokir dan membuka blokir tersebut melalui sistem EIR. Apabila IMEI ponsel tidak terdaftar, maka layanan seluler untuk perangkat tersebut akan diblokir.

Ketika pengguna kehilangan ponselnya, maka pengguna juga bisa melaporkan nomor IMEI ponselnya ke operator untuk diblokir agar tidak bisa disalahgunakan oleh oknum lain. Jika ponselnya kembali, ia bisa mengajukan kepada operator untuk membuka kembali blokir tersebut.

(Baca: Kominfo Usulkan Aturan IMEI Efektif Diberlakukan Februari 2020)

Aturan IMEI Diharapkan Tak Rugikan Operator

Ketua ATSI Ririek Adriansyah berharap regulasi ini tidak merugikan operator. Karena itu, ia meminta pemerintah mengkaji dampak dari aturan IMEI secara komprehensif. “Itu (investasi alat untuk memblokir IMEI) juga harus dilihat, karena jangan sampai membebani industri (telekomunikasi) secara berlebihan," katanya pada 15 Juli lalu, di Jakarta.

Investasi tersebut dibutuhkan karena perusahaan telekomunikasi dilibatkan dalam sinkronisasi data IMEI. Sebab, ada lima sumber data yang bakal dikaji Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memblokir IMEI. 

Kelima sumber itu di antaranya Tanda Pendaftaran Produk (TPP) impor dan lokal, data dump operator seluler, ponsel yang dibeli di luar negeri (hand carry), dan stok pedagang. TPP impor merupakan data IMEI yang sudah ada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang diperoleh dari importir resmi.

Sedangkan dump operator seluler merupakan data IMEI yang sudah tercatat di operator seluler, karena ponsel menggunakan kartu sim (sim card). Begitu diaktifkan dan dipasang kartu sim, IMEI  pada ponsel otomatis terekam oleh operator. Data inilah yang harus diharmonisasikan dengan milik pemerintah melalui sistem informasi basis data IMEI nasional (SIBINA).

Ririek berharap, peralatan yang dibutuhkan untuk sinkronisasi data ini tidak membebani perusahaan telekomunikasi. Sejauh ini, kata Ririek, belum ada pembahasan detail mengenai investasi perihal peralatan tersebut.

(Baca: Pentingnya SIBINA, Sistem Data IMEI Penentu Pemblokiran Ponsel)

Reporter: Cindy Mutia Annur