Twitter terancam didenda US$ 150 juta hingga US$ 250 juta (Rp 2,2 triliun-Rp 3,7 triliun) dari Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (AS) atau FTC. Raksasa teknologi asal AS itu dianggap menyalahgunakan data pribadi pengguna untuk keperluan iklan.

FTC mengatakan, Twitter menggunakan nomor telepon dan alamat email pengguna untuk menyasar segmen yang diincar pengiklan pada periode 2013 hingga 2019. Padahal, “data ini untuk tujuan keselamatan dan keamanan,” demikian tertulis pada arsip FTC dikutip dari CNN Internasional, Selasa (4/8).

Komisi perdagangan mengetahui hal itu karena adanya keluhan, beberapa hari setelah laporan pendapatan Twitter kuartal II keluar. Perusahaan itu membukukan pendapatan US$ 683 juta, sekitar dua minggu setelah peretasan besar-besaran yang menyerang akun tokoh seperti Joe Biden, Barack Obama, Bill Gates dan Jeff Bezos.

FTC enggan berkomentar mengenai sanksi denda itu.

Namun, pada Oktober 2019 lalu, Twitter mengakui bahwa mereka secara tidak sengaja menargetkan segmen yang diincar pengiklan melalui data nomor telepon dan email. Padahal, kedua data pribadi ini diminta mengamankan akun seperti otentikasi dua faktor (two factor authentication).

FTC pun akan melakukan penyelidikan guna memastikan pelanggaran Twitter. "Penyelidikan sesuai aturan akuntansi standar dan dimasukkan dalam pengarsipan dengan Komisi Sekuritas dan Bursa," kata juru bicara Twitter Brandon Borrman dikutip The New York Times.

Di satu sisi, praktik keamanan Twitter masih berada di bawah pengawasan otoritas karena kasus peretasan. Lusinan akun Twitter milik sejumlah tokoh seperti Obama, Bill Gates, Elon Musk hingga Apple diretas.

Peretas meminta pengikut (follower) mengirimkan US$ 1.000 dalam bentuk bitcoin melalui akun-akun itu. Kasus ini terjadi pada pertengahan bulan lalu.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan