Siasat Trump Kendali Penuh TikTok Temui Antiklimaks

Budastock/123rf
Ilustrasi bendera AS dan Tiongkok
Penulis: Desy Setyowati
22/9/2020, 12.30 WIB

Pengembang aplikasi TikTok, ByteDance bisa bernapas lega sementara karena dapat beroperasi di Amerika Serikat (AS) setidaknya hingga akhir pekan ini. Namun Presiden AS Donald Trump memperingatkan akan membatalkan kesepakatan, jika tuntutannya tidak dipenuhi.

Trump menyetujui rencana perusahaan asal Tiongkok itu untuk membentuk anak usaha, TikTok Global dan menawarkan saham perdana atau IPO di AS. Oleh karena itu, ia menunda pemblokiran aplikasi TikTok hingga akhir minggu ini (27/9).

ByteDance akan memiliki 80% saham TikTok Global. Sedangkan perusahaan asal AS, Oracle mempunyai 12,5% dan Walmart 7,5%.

Meski begitu, beberapa sumber Reuters yang mengetahui kesepakatan itu mengatakan bahwa investor AS memiliki 41% saham di ByteDance. Dengan menghitung kepemilikan tidak langsung ini, mayoritas saham TikTok Global diklaim milik pihak AS.

Selain itu, dalam pernyataan bersama akhir pekan lalu, Oracle dan Walmart menyatakan bahwa warga AS akan mengisi empat dari lima kursi dewan direksi. Dengan pertimbangan itu, Trump menyetujui kesepakatan tersebut.

Akan tetapi, “jika tidak bisa (memiliki kendali penuh), kami akan membatalkannya,” kata Trump dikutip dari Reuters, hari ini (22/9).

Ia mengatakan bahwa kendali penuh itu dibutuhkan untuk memastikan keamanan data pengguna. “Itu satu-satunya yang sangat penting,” ujar dia.

Trump juga beberapa kali mengklaim bahwa TikTok Global bakal menjadi perusahaan baru, dan tidak akan ada hubungannya dengan negara lain termasuk Tiongkok. Namun ByteDance, Oracle, dan Walmart enggan berkomentar mengenai klaim itu.

Sedangkan media yang didukung oleh Partai Komunis di Tiongkok, Global Times menulis editorial terkait penolakan atas usulan warga AS mengisi empat kursi dewan direksi di TikTok Global. Ini dinilai sebagai penindasan terhadap keamanan, kepentingan, dan martabat Negeri Panda.

Kesepakatan ByteDance dengan Oracle dan Walmart juga dinilai sebagai paksaan. Global Times menilai, perusahaan Tiongkok yang sukses memperluas bisnis ke negara lain akan menjadi sasaran AS.

Pemimpin redaksi Global Times Hu Xijin menilai, kesepakatan itu tidak adil. Namun meringankan beban ByteDance ketimbang menutup penuh operasional TikTok di AS.

Apalagi pemerintah AS menyebutkan ada 100 juta pengguna TikTok di Negeri Paman Sam. Sedangkan riset Priori Data menunjukkan bahwa aplikasi itu diunduh 45,6 juta kali di AS per pertengahan tahun ini, sebagaimana Databoks berikut:

Jumlah pengguna TikTok di AS menempati urutan kedua setelah India. Oleh karena itu, pasarnya potensial bagi ByteDance, apalagi setelah aplikasinya diblokir di Negeri Bollywood.

Pemerintah Tiongkok belum memberikan pernyataan resmi terkait kesepakatan ByteDance dengan Oracle dan Walmart. Namun, "Tiongkok akan memperhatikan, apakah perusahaan ini masih dimiliki oleh warganya atau tidak," kata profesor ekonomi di Universitas Renmin, Zhang Yansheng dikutip dari Wall Street Journal.

Selain itu, Beijing masih mengkhawatirkan persoalan teknologi algoritme TikTok. Pemerintah menerbitkan aturan ekspor terkait teknologi baru pada bulan lalu.

Pemerintah Tiongkok melarang ekspor teknologi yang dianggap sensitif seperti analisis teks, pengenalan suara, dan saran konten tanpa lisensi. Untuk itu, perusahaan harus mengajukan lisensi jika ingin menjual saham ke korporasi asing.

Peraturan itu dinilai berdampak pada penjualan operasional TikTok kepada perusahaan AS. Sebab, TikTok memiliki teknologi untuk memahami minat pengguna yang dipersonalisasi.

Dalam pernyataan bersama, Oracle dan Walmart tidak mengungkapkan perihal akses terhadap teknologi algoritme inti TikTok. Yang disampaikan yakni Oracle akan berfokus pada komputasi awan (cloud) dan keamanan data pengguna.

Jika perusahaan AS mendapatkan akses atas algoritme itu, Tiongkok diperkirakan tidak memberikan izin. Hal ini menjadi rintangan lain bagi ByteDance, Oracle, dan Walmart untuk memuluskan kesepakatan.

Selain itu, kesepakatan itu rentan batal karena memanasnya hubungan AS dan Tiongkok. Trump memang sudah memberikan lampu hijau sementara bagi TikTok untuk beroperasi di Negeri Paman Sam.

Namun AS masih memberlakukan sanksi kepada perusahaan Tiongkok lainnya, yakni WeChat, Huawei hingga ZTE. Sebagai balasan, pemerintah Negeri Tirai Bambu mengeluarkan aturan daftar ‘entitas yang tidak dapat diandalkan’ atau dianggap membahayakan keamanan negara pada Mei lalu.

Entitas yang masuk dalam daftar akan dilarang berinvestasi atau berdagang dengan pasar Tiongkok, baik impor maupun ekspor. Beijing belum mengumumkan nama-nama perusahaan yang masuk daftar itu.

Namun media pemerintah melaporkan bahwa Apple dan Google terancam masuk daftar tersebut. "Selalu ada risiko balas dendam, menempatkan perusahaan AS terkenal seperti Apple di garis bidik," kata Wakil Presiden IDC Bryan Ma, dikutip dari Washington Post.

Peneliti sekaligus penasihat Kementerian Perdagangan Tiongkok, Mei Xinyu mengatakan bahwa langkah itu bukan untuk menakuti perusahaan asing di Tiongkok. "Kami sangat mengutamakan langkah dalam menjaga dan mempromosikan produksi dan perdagangan dalam negeri yang normal," kata dia.

Oleh karena itu, ia memperkirakan bahwa Google akan lebih dulu terkena sanksi ketimbang Apple.

Sebab, Google memiliki tekanan pasar yang lebih kecil di Negeri Panda. Jika layanan Google diblokir, menurutnya dampaknya tidak signifikan.

Sedangkan konsumen Tiongkok menyumbang US$ 44 miliar terhadap penjualan produk Apple tahun lalu. Nilainya kurang dari seperlima pendapatan perusahaan di seluruh dunia.

Analis Bloomberg Intelligence Anand Srinivasan mengatakan, Tiongkok menyumbang 20% dari penjualan iPhone. Penjualan pada kuartal II pun melonjak 225% secara kuartalan. 

"Lingkungan bisnis yang membaik di Tiongkok membantu Apple mencapai pertumbuhan di negara itu," kata Wakil Presiden Riset Gartner Gartner Annette Zimmermann dikutip dari CNBC Internasional, bulan lalu (26/8). 

Tiongkok juga dikabarkan akan meluncurkan inisiatif standar global terkait keamanan data untuk melawan tekanan AS. Kabarnya, Beijing bakal membujuk negara-negara yang berpikiran sama untuk mengembangkan inisiatif baru ini.

Trump belum memberikan pernyataan resmi terkait kebijakan itu. Namun mantan wakil menteri di Kementerian Perdagangan Tiongkok Wei Jianguo menilai, tekanan terhadap Huawei dan TikTok hanya permulaan bagi AS.

"Tujuan strategis AS yakni mempersiapkan upaya lima tahun untuk mengalahkan perusahaan Tiongkok,” kata Jianguo dikutip dari CNBC Internasional. “Menekan perusahaan semikonduktor dan melarang TikTok hanyalah permulaan bagi AS.”