Literasi Digital Penduduk di Bali, Kalimantan & Sulawesi Paling Tinggi
Survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan, indeks literasi digital masyarakat Indonesia masuk kategori sedang, yakni 3,47 dari 5. Tingkat yang tertinggi yakni di bagian tengah, seperti Bali, Kalimantan, dan Sulawesi.
Indeks tersebut berdasarkan hasil survei terhadap 1.670 responden, yang dilakukan selama 18-31 Agustus lalu. Responden merupakan anggota rumah tangga berusia 17-30 tahun dan mengakses internet tiga bulan terakhir. Tingkat toleransi kesalahan (margin of error) 2,45%.
Berdasarkan survei tersebut, sub-indeks terkait informasi dan literasi data 3,17. Kemudian indeks komunikasi dan kolaborasi 3,38. Sedangkan keamanan dan kemampuan teknologi masing-masing 3,66.
Menurut wilayah, indeks literasi digital masyarakat Indonesia bagian tengah yang tertinggi yakni 3,57. Sedangkan barat 3,43 dan timur 3,44. “Di Jawa, sub-indeks informasi dan literasi data cukup rendah,” kata Direktur Riset KIC Mulya Amri saat konferensi pers virtual terkait hasil survei literasi digital nasional, Jumat (20/11).
Ada enam hal yang memengaruhi indeks literasi digital, yakni usia, jenis kelamin, pendidikan, kemampuan mengenali hoaks, pemakaian internet, dan domisili. Angkanya tertera pada Gambar di bawah ini:
“Indeks di Jawa dan Sumatera lebih rendah dibanding Indonesia tengah. Ini karena sejumlah korelasi,” kata Amri. “Kami cek beberapa kali. Mungkin paham hoaks, tetapi tidak membuat seseorang menahan diri untuk tidak menyebarkannya.”
Berdasarkan survei tersebut, 11,2% menyatakan pernah menyebarkan kabar bohong atau hoaks. Sebanyak 68,4% di antaranya mengatakan hanya ingin mendistribusikan informasi, meski belum memverifikasi kebenarannya.
Lalu, 56,1% tidak tahu bahwa itu hoaks. Kemudian, karena alasan tak mengetahui sumber informasi, iseng, dan untuk memengaruhi orang lain.
“Masyarakat yang tinggal di perdesaan cenderung tidak menyebarkan hoaks. Ini artinya, masyarakat di perkotaan lebih banyak terpapar, sehingga dengan mudah menyebarluaskan,” kata dia.
Mayoritas dari responden menilai, Facebook menjadi media yang paling banyak penyebaran hoaks. Disusul oleh WhatsApp, YouTube, portal berita online, Instagram, dan televisi.
Konten bohong yang paling sering mereka temui yaitu politik. Kemudian, kesehatan, agama, kerusuhan, lingkungan, dan bencana alam.
Meski begitu, masyarakat Indonesia jauh lebih percaya informasi dari televisi dan media sosial, ketimbang situs pemerintah maupun portal berita online. Separuh lebih responden mempercayai informasi yang beredar di WhatsApp.
Berbeda dengan masyarakat di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) yang lebih mempercayai informasi dari situs resmi pemerintah dan televisi. “Mereka langsung mencari tahu di internet jika menerima hoaks,” kata Amri.
Padahal, masyarakat di wilayah 3T mengalami beberapa kesulitan untuk mengakses internet seperti infrastruktur yang belum memadai dan mahalnya tarif. “Mereka menganggap, hoaks merupakan tanggung jawab semua orang,” ujar dia.
Di satu sisi, survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) menunjukkan, jumlah pengguna internet Indonesia naik 8,9% dari 171,2 juta pada 2018 menjadi 196,7 juta per kuartal II 2020. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:
Juru bicara Kominfo Dedy Permadi mengatakan, survei itu menunjukkan bahwa semakin banyak dan sering masyarakat menggunakan internet. Namun, “ada tantangan besar yang dihadapi. Per Oktober, kami identifikasi 1,64 juta konten hoaks,” ujar dia.