Kurang dari sepekan sebelum Joe Biden memimpin, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menambahkan Xiaomi ke dalam daftar perusahaan yang dianggap dikendalikan oleh militer Tiongkok. Produsen ponsel pintar (smartphone) ini masuk daftar hitam di saat berambisi mengalahkan Huawei.
Departemen Pertahanan AS menambahkan sembilan korporasi Tiongkok dalam daftar perusahaan yang dianggap mengancam keamanan pada Kamis (14/1). Selain Xiaomi, pesaing Boeing dan Airbus yakni Commercial Aircraft Corporation of China (Comac) masuk daftar.
Mereka pun bakal dilarang berinvestasi di AS. Para investor asal Negeri Paman Sam pun dipaksa melepaskan kepemilikan saham di sembilan perusahaan Tiongkok ini per 11 November nanti.
"Perusahaan-perusahaan itu nampaknya entitas sipil, tetapi mendukung militer dengan teknologi dan keahlian yang canggih," kata Departemen Pertahanan AS dalam pernyataan resmi, dikutip dari CNN Internasional, Jumat (15/1).
Xiaomi membantah berafiliasi ataupun dikendalikan oleh militer Tiongkok. Perusahaan bakal mengambil tindakan atas sanksi AS tersebut. “Ini untuk melindungi kepentingan perusahaan dan pemegang saham," kata Xiaomi.
Produsen gadget asal Tiongkok itu khawatir sanksi tersebut bakal memengaruhi kinerja penjualan smartphone pada tahun ini. Padahal mereka berencana melampaui kinerja Huawei dan Apple.
Xiaomi bahkan meningkatkan kapasitas produksi pabrik tahun ini untuk menggenjot pertumbuhan penjualan. Dikutip dari Nikkei Asia Review, perusahaan telah memesan komponen dan suku cadang hingga 240 juta unit kepada pemasoknya.
Jumlah tersebut jauh melebihi pemesanan pada 2020. Dengan pasokan itu, produksi gawai Xiaomi dapat melampaui rata-rata pengiriman tahunan iPhone milik Apple.
Kepada pemasok, Xiaomi mengatakan bahwa mereka memiliki target internal yang lebih tinggi pada tahun ini. Perusahaan menargetkan bisa mendistribusikan 300 juta uni smartphone. Apabila ini tercapai, produsen ini bisa saja mengalahkan Huawei dan Apple.
Penjualan smartphone Huawei pernah mencapai 240,6 juta unit dalam setahun. Sedangkan Apple rata-rata mengirim 200 juta gadget.
Xiaomi mendorong produksi, karena Huawei tertekan sanksi AS dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Ini karena AS menambahkan 38 afiliasi semikonduktor Huawei ke dalam daftar hitam pada Agustus 2020, sehingga totalnya menjadi 152.
Akibat kebijakan itu, Huawei semakin sulit mendapatkan pasokan perangkat. Bahkan, perusahaan semikonduktor miliknya yakni HiSilicon menyetop memproduksi cip (chipset), termasuk prosesor andalannya Kirin sejak September 2020 lalu.
Ponsel Huawei pun tak lagi didukung sistem operasi atau OS Android milik Google per Agustus lalu. Alhasil, perangkat yang diluncurkan setelah pertengahan Mei 2019, tidak akan didukung oleh Google Mobile Services (GMS) seperti Gmail dan YouTube.
Namun, Huawei berupaya mandiri dengan mengembangkan OS sendiri yakni Harmony OS untuk bertahan dari tekanan AS. Tahun ini, Huawei berencana untuk menerapkan Harmony OS pada 400 juta perangkat.
"Dunia luar mungkin berspekulasi apakah Huawei mengembangkan Harmony OS karena sanksi AS. Aku bisa memberitahumu bukan itu masalahnya," kata Head of Software untuk grup bisnis konsumen Huawei Wang Chenglu dikutip dari South China Morning Post, Rabu (13/1).
Akibat sanksi AS itu, lembaga riset TrendForce memperkirakan, pangsa pasar smartphone Huawei turun dari posisi ketiga menjadi ketujuh pada tahun ini. Itu artinya raksasa teknologi Tiongkok ini diprediksi kalah dari Samsung, Apple, Xiaomi, OPPO, Vivo, dan Realme.
“Keenam produsen ponsel itu diramal menguasai 80% pangsa pasar secara global pada 2021,” demikian isi laporan, dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Selasa (5/1).
Namun kini, AS memasukkan Xiaomi ke dalam daftar hitam. Meskipun, kebijakan ini baru berlaku pada November 2021 atau ketika Joe Biden yang memimpin.