Pakar teknologi informasi memperingatkan risiko serangan siber di tengah konflik dengan negara lain, termasuk dengan Tiongkok saat ini. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok memanas di tengah sengketa terkait hak berdaulat di Laut Natuna.
Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom Alfons Tanujaya mengatakan, serangan siber yang paling mengkhawatirkan adalah yang bentuknya spionase sehingga menargetkan informasi atau data-data penting milik negara.
Ia mengatakan, Amerika Serikat (AS) kerap dibobol oleh para peretas Negeri Tirai Bambu. Meskipun, keduanya tidak dalam kondisi berkonflik atau perang. Risiko serupa perlu diwaspadai pemerintah Indonesia. Apalagi, piranti keras (hardware) yang beredar di dunia ini mayoritas buatan Tiongkok.
“Kita enggak boleh menuduh, tapi logikanya, tidak sulit untuk menyelipkan sesuatu ke dalam hardware. Apakah ke dalam processor atau ke dalam komponen-komponen lain dalam ,” ujar Alfons ketika dihubungi Katadata.co.id, Kamis (16/1).
(Baca: Ahli IT Prediksi Serangan Siber Pakai Bot Semakin Masif Tahun Ini)
Menurut dia, dengan alasan ini juga Presiden AS Donald Trump berkeras untuk tidak menggunakan perangkat 5G dari Huawei. Maka itu, kata dia, Indonesia yang banyak menggunakan hardware dari Tiongkok harus memahami titik lemah tersebut. “Kita harus berhati-hati," ujarnya.
Guna mengantisipasi risiko serangan siber berupa spionase, Alfons menjelaskan, pemerintah perlu hati-hati dalam penggunaan hardware ataupun piranti lunak (software) oleh lembaga-lembaga penting negara, atau para pembuat keputusan kunci, seperti presiden dan para menteri.
Secara khusus dalam kasus Natuna, kewaspadaan perlu ditingkatkan di lembaga kemaritiman, termasuk Angkatan Laut. Bila perangkat komunikasi disadap, maka pergerakan bisa dengan mudah terpantau.
Dengan risiko ini, Alfons mengimbau agar pemerintah jangan emosional dalam menanggapi masalah Natuna. Ia mendukung sikap tegas pemerintah, namun jalur diplomasi tetap perlu dikedepankan. “Jangan sampai terprovokasi," ujarnya.
(Baca: Ajakan untuk Jepang Berinvestasi di Natuna Menuai Respons Beragam)
Selain itu, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) harus bekerja keras untuk mengamankan komunikasi penting antarpejabat negara. "Mereka harus gunakan perangkat dan sistem operasi dengan level tinggi agar pejabat negara tidak mudah disadap. Jangan malah pakai Android atau sejenisnya yang mudah dilacak," ujarnya.
Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi juga tak menutup potensi serangan siber di tengah sengketa Laut Natuna. Namun, ia belum melihat serangan yang dimaksud. “(Ada potensi serangan) jika konfliknya kian memanas. Sekarang belum kelihatan,” kata dia ujar Heru kepada Katadata.co.id saat ditemui di Jakarta, Kamis (16/1).
Menurut dia, serangan siber terkait konflik negara biasanya berupa serangan Distributed Denial of Services (DDOS). Serangan ini biasanya menyerang suatu situs secara masif dalam satu waktu hingga membuat situs itu terganggu (down).
"Nah, ketika situs down maka situs tidak bisa digunakan dan pemulihannya bakal lama. Bisa juga beberapa situs halaman depan diganti tiba-tiba," ujarnya.
Heru mengatakan, sebelumnya Indonesia pernah mengalami perang siber dengan beberapa negara seperti Malaysia dan Australia. Biasanya, menurut dia, perang siber terjadi bila ada pelanggaran kedaulatan yang berat.
Perang siber dengan Australia terjadi beberapa waktu lalu, setelah Australia ketahuan menyadap ponsel milik Susilo Bambang Yudhoyono yang tengah menjabat Presiden RI, istrinya, dan wakil presiden ketika itu.
"Hal ini juga sempat membuat para peretas kita marah sehingga mereka melakukan serangan terhadap situs-situs di Australia yang menyerang situs intelligence, kepolisian, hingga situs mereka down," ujarnya.
Di sisi lain, beberapa situs layanan publik di Indonesia juga down, karena terkena serangan siber. Sebut saja situs Garuda Indonesia, Bank Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM, serta kepolisian.
Melihat pengalaman tersebut dan risiko konflik dengan Tiongkok, ia pun menekankan perlunya upaya peningkatan keamanan pada situs-situs layanan publik.