Kominfo Kaji Empat Faktor Pengembangan 5G di Indonesia

ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee
Ilustrasi, tanda 5G terpasang di World 5G Exhibition di Beijing, China, Jumat (22/11/2019).
27/11/2019, 13.01 WIB

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terus mengkaji kebijakan jaringan internet generasi kelima (5G) yang sesuai di Indonesia. Setidaknya, Kominfo mempertimbangkan empat faktor pengembangan 5G.

Pertama, waktu yang pas mengimplementasikan 5G. "Tujuannya menghindari market failure (kegagalan pasar) dari sisi permintaan dan suplai,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail saat konferensi pers Embarking 5G: A Persuit to Digital Destiny di Jakarta, Rabu (27/11).

Riset GSMA Inteligence menyebutkan, 18% koneksi dunia merupakan 5G pada 2025. Karena itu, Kementerian Kominfo mengkaji frekuensi yang pas untuk 5G di Indonesia.

Ada tiga kandidat frekuensi yang dirasa sesuai untuk 5G yakni 3,5 Ghz, 2,8 Ghz, dan 2,6 Ghz. "Sejauh ini (frekuensi) 2,6 Ghz," kata dia. Hanya, keputusan itu belum final.

(Baca: Langkah Kominfo agar Adopsi 5G di Indonesia Lebih Efisien)

Sebab, penetapan frekuensi 5G akan mengkaji banyak tidaknya vendor yang mendukung. Misalnya, di frekuensi A, banyak vendor yang mendukung baik dari sisi perangkat sistem maupun jumlah perangkatnya.

Semakin banyak perangkat yang menggunakan 5G, maka investasinya akan lebih murah. Hal ini mendorong perusahaan telekomunikasi menyediakan layanan dengan jaringan internet tersebut.

Dari segi fiber optik, ia menyarankan agar operator mengembangkan aplikasi lokal untuk 5G. "Jangan sampai kita menggelar infrastruktur tetapi menggunakan aplikasi dari asing," kata dia.

Kedua, mendorong operator untuk berbagi infrastuktur (infrastructure sharing). Riset McKinsey menunjukkan, berbagi infrastruktur mengurangi biaya investasi 5G hingga 40%.

(Baca: Huawei Proyeksi Adopsi Jaringan 5G di Indonesia Paling Lambat 2022)

Menurut Ismail, operator di Indonesia belum bisa bersinergi terkait infrastruktur. "Indonesia masih dalam kondisi yang belum seimbang antaroperator yang sharing infrastruktur. Jadi pemecahan masalahnya terlebih dahulu," katanya.

Ketiga, bisnis model inovatif. Ismail mengatakan, pentingnya menentukan bisnis model yang inovatif agar implementasi 5G bisa maksimal, bukan hanya untuk komersial tetapi juga publik.

"Kami perlu memikirkan kontribusi 5G untuk kepentingan sumber daya manusia (SDM), sektor pendidikan, kesehatan hingga masyarakat di pelosok Tanah Air,” kata dia. Karena itu, operator perlu mengembangkan model bisnis kreatif.

Terakhir, kolaborasi dan perluasan jaringan. Dari penggelaran 5G yang sudah ada, perlu kolaborasi antarperusahaan telekomunikasi dan memperluas lini bisnis. "Ini berkaitan dengan pengambilan keputusan antaroperator mengenai permintaan, suplai, dan ekosistem. Perlu pertimbangan menyeluruh,” katanya.

(Baca: Mengapa Radiasi 5G Dianggap Lebih Berbahaya dari 4G?)

Reporter: Cindy Mutia Annur