Layanan jejaring sosial asal Amerika, Facebook, menyatakan buzzer atau para pendengung di media sosial tidak akan bisa hilang. Pasalnya, ada motif penggunaan media sosial untuk berdagang.
"Motif orang menggunakan Facebook kan beda-beda, ada yang ingin bertemu keluarga atau teman hingga berdagang. Jadi buzzer akan terus ada," ujar Kepala Kemitraan Konten Hiburan Facebook, Revie Sylvana di Jakarta, Jumat (11/10).
Ditambah buzzer sudah dianggap menjadi profesi yang cukup menguntungkan. Di sisi lain, penggunaan media sosial tidak dapat dibatasi.
Untuk menekan dampak negatif, Facebook memberikan beberapa panduan khusus yang ada dalam Comunity Guideline bagi pengguna yang terganggu dengan aktivitas buzzer. "Semua perilaku digital pengguna media sosial terekam, jika ada yang melanggar ketentuan dapat dengan mudah dilaporkan," katanya.
(Baca: Memotret Fenomena Buzzer dan Influencer Politik Indonesia)
Tak hanya Facebook, Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) juga menjaring perilaku buzzer yang begitu masif di media sosial. Pada September saja tercatat ratusan ribu URL yang digunakan untuk menyebarkan informasi hoaks oleh buzzer.
"Data hingga bulan September cukup banyak berita hoaks, ada yang sehari bisa mencapai 270 ribu lebih URL yang dipakai untuk menyebarkan hoaks. Itu yang tertinggi, tapi kan tidak ada pembatasan," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara saat ditemui di kawasan Menteng, Kamis (10/10).
Rudiantara menjelaskan perilaku buzzer tidak dilarang oleh undang-undang. Namun, ia mempermasalahkan konten yang berisi provokasi dan menghasut yang melanggar undang-undang.
Di sisi lain, laporan ‘The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’ yang ditulis oleh dua Peneliti Oxford mencatat politikus di Indonesia kerap menggunakan buzzer. Namun, tim buzzer di Tanah Air tergolong kecil dibanding negara lain.
Penggunaan buzzer dianggap perlu dilakukan oleh kalangan tertentu untuk dapat menggiring opini masyarakat sesuai dengan kepentingan tertentu. “Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 1 juta sampai Rp 50 juta,” demikian dikutip dari laporan yang dirilis September lalu ini.
(Baca: Moeldoko Nilai Aktivitas Para Buzzer Rugikan Jokowi)
Di sisi lain, Facebook disebut sebagai media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan hoaks. Laporan "2019 CIGI-Ipsos Global Survey on Internet and Security Trust" menyebut dua dari tiga orang atau 67% masyarakat dunia menyetujui bahwa penyebaran hoaks terbesar terdapat di Facebook.
Sebanyak 65% responden menyebut penyebaran hoaks terbanyak kedua ditemukan di media sosial secara umum. Adapun 60% responden menyebut hoaks ditemukan di situs-situs internet. Survei CIGI melibatkan 25.229 pengguna internet dari 25 negara dan diselenggarakan pada 21 Desember 2018-4 Januari 2019. Berikut grafik terkait penyebaran hoaks di media sosial seperti dilansir dari Databoks :