Para pendengung di media sosial (buzzer) menjadi perbincangan setelah beredar banyak disinformasi terkait demonstrasi belakangan ini. Dua Peneliti Oxford mencatat, politikus di Indonesia memang menggunakan buzzer. Namun, tim buzzer di Tanah Air tergolong kecil dibanding negara lain.
Kedua peneliti itu adalah Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Keduanya membuat laporan bertajuk ‘The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’ terkait manipulasi opini publik.
Dalam laporannya, kedua peneliti mencatat hanya politikus dan private contractors yang menggunakan buzzer untuk memanipulasi opini masyarakat di Indonesia. “Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 1 juta sampai Rp 50 juta,” demikian dikutip dari laporan yang dirilis September lalu ini.
Keduanya tidak menemukan data terkait pemerintah Indonesia memanipulasi opini publik. Sedangkan di Tiongkok, Kamboja, Rusia, Iran dan Israel ditemukan lebih dari tiga kementerian atau Lembaga (K/L) yang memanipulasi opini masyarakat.
(Baca: Moeldoko Nilai Aktivitas Para Buzzer Rugikan Jokowi)
Kapasitas pasukan siber yang memanipulasi pun tergolong rendah, karena hanya melibatkan sedikit orang. Mereka aktif selama pemilihan umum (pemilu). Aktivitas tim ini cenderung berkurang setelah pemilu.
“Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim ini juga hanya beroperasi di dalam negeri,” demikian dikutip.
Setidaknya ada 70 negara yang dikaji oleh kedua peneliti ini. Metodologi penelitian ini melalui empat tahap, yakni analisis berita, tinjauan literatur, studi kasus, dan konsultasi ahli. Kajian ini dilakukan selama tiga tahun.
Dalam laporannya, kedua peneliti itu menyebutkan bahwa 87% dari negara yang diteliti menggunakan akun media sosial milik manusia (human accounts) untuk memanipulasi opini publik. Sebanyak 80% pakai akun bot dan 11% menggunakan akun robot (cyborg). Lalu, 7% meretas akun untuk melancarkan aksinya.
Di Indonesia, pelaku yang memanipulasi opini publik menggunakan akun manusia dan bot. Media sosial yang paling banyak digunakan oleh buzzer di Tanah Air adalah Facebook, Twitter, Instagram dan WhatsApp.
(Baca: Moeldoko Ingin Buzzer Media Sosial Ditertibkan)
Bradshaw dan Howard mencatat, pesan yang disampaikan oleh buzzer di Indonesia memuat tiga hal. Di antaranya menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, dan mendorong perpecahan di masyarakat.
Setidaknya, buzzer di Indonesia menjalankan dua strategi komunikasi. Pertama, menyebarkan informasi yang menyesatkan (disinformasi). Kedua, memperkuat pesan dengan membanjiri media sosial dengan tagar (hashtag) supaya menjadi topik popular (trending topic).
Salah satu disinformasi yang sempat menjadi perbincangan warganet Indonesia baru-baru ini adalah tangkapan layar (screenshot) yang memuat grup WhatsApp pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM). Beberapa warganet bahkan menggunakan aplikasi Truecaller untuk mengetahui aktor dibalik screenshot tersebut.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai aktivitas para pendengung (buzzer) pendukung justru merugikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab, konten yang disampaikan oleh para buzzer kerap kali berupa disinformasi.
Hal tersebut bisa menimbulkan konflik di tengah masyarakat. “Ya kami melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta (oleh buzzer) itu merugikan,” kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/10).
(Baca: Rudiantara Sebut 2 Aturan Mengikat Buzzer Saat Masa Tenang Pemilu)