Perusahaan berbagi tumpangan (ride-hailing) asal Amerika Serikat (AS), Uber dan Lyft melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) tahun ini. Lalu, bagaimana dengan Gojek dan Grab?
Presiden Gojek Grup Andre Soelistyo mengatakan, IPO belum menjadi kebutuhan mendesak saat ini. “Kami memiliki modal yang cukup untuk melanjutkan perjalanan (bisnis),” kata dia dalam acara Asia PE-VC Summit 2019 dikutip dari DealStreetAsia, Rabu (2/10) lalu.
Meski begitu, Andre menyatakan bahwa perusahaan mempertimbangkan IPO. “Mungkin tiga tahun lagi. Saya pikir, intinya adalah kami sedang mempersiapkan diri untuk sampai ke sana. Bukan hanya karena IPO itu sendiri, tetapi karena tata kelola memang perlu jauh lebih baik,” kata dia.
Apalagi, Chief Financial Officer (CFO) Gojek pernah bekerja di perusahaan terbuka. “Dia melakukan banyak hal untuk mempersiapkan Gojek menjadi lebih baik,” kata dia. Utamanya, Gojek berfokus pada keberlanjutan bisnis.
Saat ini, Gojek mempelajari IPO beberapa startup dunia, bukan hanya Uber dan Lyft. Salah satunya, akan ada pesaing-pesaing baru. “Bahkan di Tiongkok, DiDi adalah pemain tunggal di pasar. Tetapi sekarang ada tiga dari empat pemain lainnya. Jadi selalu ada kompetisi,” kata dia.
(Baca: Strategi Gojek Fokus Garap Pesan-Antar Makanan dan Keuangan)
Pembelajaran lainnya, harga saham startup pesan-antar makanan hingga tiket online, Meituan-Dianping mampu meningkat signifikan meski bersaing dengan Ele.me, yang didukung Alibaba. Dari kasus ini, Andre belajar bahwa perusahaan perlu berfokus pada efisiensi operasional, produk yang benar-benar bagus, dan disiplin dalam membangun keberlanjutan bisnis.
Sedangkan CEO Grab Anthony Tan mengatakan kepada Nikkei Asian Review —dalam wawancara khusus Februari lalu—bahwa menjadi perusahaan terbuka adalah "pilihan". Namun, perusahaan tidak berencana IPO tahun ini.
Grab pun tengah berfokus menggalang pendanaan. Pada Juli lalu, decacorn asal Singapura ini mendapat investasi US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28,4 triliun dari SoftBank.
Namun, berdasarkan prospektus Uber, perusahaan asal AS ini memegang 23,2% saham Grab pada akhir tahun lalu. Uber menerima 401 juta saham Grab pada tanggal penutupan kesepakatan merger, dan menerima delapan juta saham lainnya selama 2018.
(Baca: Saingi Gojek, Grab Akan Investasi Ratusan Juta Dolar AS di Vietnam)
Analis CMC Market yang berbasis di Singapura, Margaret Yang mengatakan, investasi Uber tersebut dapat mempengaruhi keputusan Grab itu untuk memilih IPO sebelum atau setelah 2023. “Pada 23 Maret 2023, tidak secara eksplisit deadline bagi grab untuk IPO," kata dia dikutip dari Nikkei Asian Review, Maret lalu.
Berdasarkan prospektus itu, Uber punya hak penebusan untuk mengembalikan seluruh atau sebagian investasinya ke Grab. Sebab, Grab belum IPO.
Meski begitu, Analis Senior Oanada di Singapura, Jeffrey Halley menilai klausul terkait hak penebusan tidak lantas menyiratkan Grab akan melakukan IPO pada 2023. “Tetapi, saya akan sangat terkejut jika Grab dan Gojek tidak IPO,” katanya. Sebab, kedua decacorn ini memiliki valuasi yang tinggi di Asia Tenggara.
(Baca: Gojek Cari Modal Rp 28,4 Triliun untuk Perkuat GoFood dan GoPay)