Kritik Pembatasan Akses Media Sosial, SAFEnet Serukan Tujuh Tuntutan

PXHERE.COM
Ilustrasi, aplikasi WhatsApp. Demi membendung penyebaran hoax terkait kerusuhan 22 Mei 2019, pemerintah membatasi akses video dan gambar di sejumlah media sosial, salah satunya aplikasi komunikasi WhatsApp.
Penulis: Agung Jatmiko
24/5/2019, 12.49 WIB

Keputusan pemerintah yang membatasi akses media sosial demi membendung hoax atas kerusuhan 22 Mei 2019, mengundang kritik dari Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, organisasi yang mengadvokasi hak digital di Asia Tenggara.

Dalam keterangan resminya, SAFEnet menyebut, langkah pembatasan akses media sosial yang diambil pemerintah ini adalah bentuk internet throttling atau pencekikan akses internet, yang berpotensi menjadi preseden buruk dalam menjamin hak kebebasan berekspresi.

Internet throttling merupakan salah satu bentuk internet shutdown, yakni secara sengaja membatasi akses publik pada internet untuk periode tertentu.

Sejatinya pembatasan akses internet bukanlah barang baru. Access Now, perusahaan yang menyuarakan hak digital, mencatat ada 56 kasus internet shutdown di seluruh dunia, naik 180% dari tahun sebelumnya.

Alasan dilakukannya internet shutdown mayoritas sama, yakni demi keamanan negara dan membendung hoax. Meski efektivitasnya dipertanyakan dan dampaknya justru mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara.

(Baca: Bendung Hoaks Kerusuhan 22 Mei, Pemerintah Batasi Akses Media Sosial)

Terkait langkah yang diambil pemerintah Indonesia, SAFEnet menyerukan tujuh tuntutan. Pertama, menuntut pemerintah untuk memastikan bahwa hak digital publik sebagai bagian dari hak asasi manusia tidak akan terancam dengan pemberlakuan pembatasan internet ini.

Kedua, meminta pemerintah untuk memastikan bahwa ke depan langkah pembatasan internet bukan keputusan yang bisa semena-mena diterapkan dengan dasar "demi keamanan negara" tanpa ada parameter yang jelas mengenai situasi darurat.

Pemerintah juga dituntut untuk transparan atas keputusan ini, tidak hanya terbatas pada alasan situasi darurat dan dasar hukum saja. Namun, soal informasi akses dan wilayah yang dibatasi, durasi pembatasan internet, efektivitas pemberlakuan, serta pengukuran dampak dari pemberlakuan pembatasan internet ini.

SAFEnet juga mendorong pemerintah untuk mencari langkah alternatif untuk mencegah penyebaran hoax, sehingga bisa mencegah pemberlakuan pembatasan internet.

Selain itu, SAFEnet mendesak pemerintah untuk mengusut dan menindak tegas pelaku penyebaran hoax dan provokator ujaran kebencian.

Keenam, meminta platform digital, seperti perusahaan penyedia media sosial, untuk lebih keras dan responsif dalam menangani potensi penyebaran hoax yang disertai ujaran kebencian dan bermuatan politis.

Terakhir, mengimbau masyarakat untuk tetap bijak dalam berinternet dan tidak terprovokasi hoax atau informasi-informasi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.

(Baca: Lembaga Konsumen Persoalkan Pembatasan Media Sosial Langgar Hak Publik)