Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012, yang didalamnya memuat kebijakan terkait perusahaan digital (Over The Top/OTT). Hanya, aturan tersebut urung dirilis awal tahun ini karena alasan politik.
Asisten Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Marsma TNI Sigit Priyono mengatakan, masalah lokasi pusat data masih menjadi polemik. Ada kekhawatiran data pribadi masyarakat Indonesia dikonsumsi oleh negara lain.
"Pada April (saat pemilihan umum) nanti, mungkin ada satu hal yang nanti menjadi bahan tidak menguntungkan kedua belah pihak (jika revisi PP ini dirilis)," kata dia di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (1/2).
Oleh sebab itu, ia berharap ada kajian mendalam terkait keamanan data pribadi masyarakat, sebagaimana diatur dalam PP 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PTSE) ini. "Substansi, apakah akan ada renegosiasi lagi di (pembahasan) Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi dan terkait keamanan siber," ujarnya.
(Baca juga: Permintaan Tinggi, Alibaba Cloud Bangun Pusat Data Kedua di Indonesia)
Padahal, selain pusat data, PP 82 Tahun 2012 ini juga mengatur mengenai OTT. Alhasil, aturan tentang OTT ini terus tertunda sejak 2017. "Saya maunya aturan ini dirilis tahun lalu," kata Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Samuel Abrijani Pangarepan.
Di dalam aturan ini, ia berencana mengubah istilah OTT menjadi platform digital. Dalam pasal 5, platform digital akan diwajibkan mendaftar.
Ada dua kriteria yang wajib mendaftar. Pertama, punya layanan bersifat ekonomis. Misalnya, produk-produknya dibeli oleh Warga Negara Indonesia (WNI), sekalipun usahanya terdaftar di luar negeri tetap harus mendaftarkan diri di Indonesia. "Ini untuk kepentingan pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," kata dia.
Kedua, wajib mendaftar jika mengelola data pribadi WNI. Hal ini juga sudah diatur di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), meski belum terlalu lengkap.
(Baca juga: Data Penyelenggara Sistem Elektronik Boleh Diolah di Luar Negeri)
Khusus platform di bidang media sosial, Kementerian Kominfo bisa mengenakan sanksi kepada mereka yang menjadi sarang hoaks dan konten negatif lainnya. Denda atas platform media sosial yang melanggar aturan tersebut bakal masuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Bisnis hanya takut kalau didenda. Kalau pidana, pegawai yang mana? Kan ribuan. Denda per pelanggaran. Akan ada aturan (teknisnya)," kata dia.
Kemudian khusus e-commerce, akan diatur juga terkait perlindungan konsumen (Safe Harbor). Hal ini bahkan sudah dikaji sejak 2016. "Di e-commerce yang terlibat berbagai pihak. Apabila terjadi kejahatan kami investigasi dan tanggung jawab platform. Misalnya ukuran atau merek beda. Bisa ditelusuri," ujarnya.
Menteri Kominfo Rudiantara sempat mengatakan, bahwa pembahasan aturan ini melibatkan perusahaan OTT yakni Google, Facebook, dan Twitter pada 2017. Ia mengatakan rancangan permen OTT memuat tiga substansi yakni terkait pelayanan terhadap masyarakat, hak dan kewajiban secara hukum, serta permasalahan fiskal.