Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima 1.330 aduan terkait aplikasi fintech lending hingga 25 November 2018. Dari aduan tersebut, LBH mengindikasikan adanya 14 dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

"Di awal kami sempat inventarisir 8 jenis pelanggaran aplikasi pinjaman online, setelah adanya pengaduan, kami temukan pelanggaran lainnya," kata Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait, (9/12).

Dugaan pelanggaran pertama yaitu bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan, serta biaya administrasi yang tak jelas. Selain itu, penagihan tak hanya dilakukan kepada peminjam, tetapi ke seluruh kontak telepon yang tersimpan di ponsel peminjam.

Caranya, petugas dari aplikasi fintech akan membuat grup WhatsApp yang isinya merupakan daftar kontak telepon dari peminjam. Di grup tersebut, petugas akan menyebarkan foto KTP peminjam disertai dengan kalimat bahwa orang tersebut meminjam uang dengan jumlah sekian.

Nomor kontak di ponsel itu diduga diakses tanpa izin. Petugas juga menyebarkan data pribadi seperti foto KTP, nomor rekening, secara tak bertanggung jawab. Selain itu, peminjam juga mendapatkan ancaman, fitnah, penipuan, hingga pelecehan seksual saat penagihan.

LBH juga menemukan bahwa alamat dan kontak penyelenggara aplikasi pinjaman online tidak jelas. Ada pula kasus yang ditemukan bahwa aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.

Selain itu pula ada pengaduan berupa sistem yang tidak dikelola dengan baik sehingga pengembalian dana tak tercatat. "Di sistem tidak ada pencatatan yang jelas," kata Jeanny.

(Baca juga: Asosiasi Sebut Pelaku yang Dilaporkan ke LBH Adalah Fintech Ilegal)

LBH juga menemukan penyelenggara aplikasi kredit online yang memakai data KTP peminjam untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain. Terakhir, virtual account untuk pengembalian uang salah. "Sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online," katanya.

Di antara ribuan aduan yang masuk, LBH mencatat, ada 89 platform yang dilaporkan. Di antaranya, ada 25 platform yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Berdasarkan data kami, tidak ada perbedaan signifikan antara pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara terdaftar dan tidak,” kata Jeanny.

Adapun 25 platform legal tersebut diketahui berinisial DR, RP, PY, TK, KP, DC, DI, RC, PG, UM, EC, CW, KV, DB, CC, UT, PD, PG, DK, FM, ID, MC, RO, PD, dan KC.

Berdasarkan pengaduan yang diterima LBH Jakarta, 48,48% pengadu menggunakan satu sampai lima aplikasi pinjaman online. Bahkan, ada peminjam yang terjerat kredit di 36 sampai 40 aplikasi.

Jeanny menyebut, nasabah umumnya terjerat bunga yang sangat tinggi ketika meminjam di aplikasi pinjaman online. Untuk membayar bunganya, mereka kemudian mengajukan ke platform lain. Namun, pinjaman pokok di aplikasi pertama tidak bisa terbayarkan. “Ini jadi lingkaran setan,” ujarnya.