Facebook dan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB Foundation) menggelar program Think Before You Share yang ketiga kalinya pada November 2017 hingga Juli 2018. Program ini menyasar siswa Sekolah Menengah Atas (SMA).

Facebook pun merilis modul untuk siswa, guru dan orang tua. Setidaknya ada 21 ribu siswa SMA, guru, dan orang tua yang dilibatkan dalam program ini. Sebab, Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari berpendapat bahwa ketiga kelompok sosial ini saling memengaruhi dalam satu ekosistem.

Harapannya, modul dan literasi digital ini bisa mengurangi beredarnya konten negatif seperti informasi palsu atau hoaks, terutama menjelang pemilihan umum (Pemilu). "Tujuannya, bagaimana ketika mereka menerima konten, bisa berpikir kritis dan menggunakan empatinya," ujar dia di Pacific Place, Jakarta, Senin (22/10).

Ia menjelaskan, program ini fokus menyasar kelompok usia 16-24 tahun. "Kalau kami mau mendapat sasaran paling atraktif atau dampak optimal, ya (menyasar) rentang usia tersebut," kata Ruben.

Sekretaris Jenderal YCAB M Farhan menambahkan, program ini tidak spesifik bertujuan untuk mengatasi hoaks terkait Pemilu. "Fokus meningkatkan kemampuan digital (dalam menanggapi) berbagai isu. Kami juga khawatir karena ada beberapa konten salah yang dibalut dengan agama," kata dia.

(Baca juga: Path, Google+ hingga Friendster Tumbang, Tak Ada Yang Saingi Facebook)

Secara spesifik, modul untuk guru akan membahas terkait cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan empati siswa. Bagi orang tua, modul berisi tentang model pengasuhan berbasis tolok ukur yang dapat membantu remaja untuk bijak menggunakan media sosial. Setidaknya penyuluhan memakan waktu dua jam.

Direktur Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Imam Syafi’i menyampaikan, konten negatif mudah sekali tersebar di era digital ini. Yang berbahaya, seseorang bisa meyakini suatu konten benar jika itu yang pertama kali ia lihat atau yang paling sering ia terima.

Bukan hanya di sekolah umum, madrasah atau pesantren pun sudsh terpapar internet termasuk konten negatif di dalamnya. "Tugas kami bagaimana ini kami arahkan pada sisi positif. Di era digital, menyebarkan fitnah itu mudah. Ini tidak sesuai dengan ajaran agama," katanya.

Yang menarik, survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa 60,6% generasi Z atau kelahiran 1995-2005 mengakses berita terkait politik melalui media sosial. Sebanyak 36% mengakses berita politik melalui internet, namun jarang. Sebanyak 22,3% sering mengakses berita politik melalui media sosial dan sisanya 2,3% sangat sering.

(Baca juga: WhatsApp Tutup Ratusan Ribu Akun Jelang Pemilu di Brasil)

Untuk itu, penting bagi pemerintah mengatasi peredaran berita atau informasi palsu (hoax) di media sosial. Sebab, 16,8% pemilih pemula sering berdiskusi mengenai politik melalui media sosial ataupun secara langsung. Prosentase itu lebih tinggi dibanding pemilih usia di atas 24 tahun, hanya 15,1% yang sering berdiskusi politik.

Adapun program Think Before You Share ini bakal diselenggarakan tujuh provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur  (NTT), Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Banten.

Penyumbang bahan: LINIA FIRSTY DEA SHAFIRA

Reporter: Desy Setyowati