Chatib Basri Jadi Penasihat Startup Blockchain Pertanian HARA

HARA
Chatib Basri (tengah), bersama Tom Malik, COO HARA (kiri); Regi Wahyu, CEO HARA (kedua dari kiri); Farina Situmorang, CMO HARA; Alex Jatra, CFO HArA dan Imron Zuhri, CTO HARA, Senin (30/7).
Penulis: Pingit Aria
31/7/2018, 10.05 WIB

Ekonom Chatib Basri melihat peran krusial teknologi blockchain dalam meningkatkan produktivitas pertanian Indonesia. Untuk itu, ia bergabung sebagai penasihat HARA, startup yang mengadopsi teknologi blockchain untuk membantu petani menjangkau kredit perbankan.

Chatib menyatakan, pengembangan blockchain dan teknologi digital akan membantu mendorong perekonomian Indonesia melalui penyederhanaan birokrasi, memotong biaya transaksi, dan membuat proses transaksi menjadi lebih cepat.

Mantan Menteri Keuangan ini optimistis HARA akan membantu petani di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas mereka. “Saya merasa terhormat untuk menjadi bagian dari petualangan ini sebagai penasihat untuk HARA,” kata Chatib dalam siaran pers, Senin (31/7).

HARA merupakan  proyek blockchain untuk pertukaran data terdesentralisasi pada sektor pangan dan pertanian. Misi HARA adalah membantu mengatasi masalah ketersediaan informasi.

(Baca juga: Ragam Tumbuhan Pangan Lokal di antara Kebutuhan Masyarakat)

Bursa data HARA misalnya, telah menghubungkan petani dengan perbankan untuk menyalurkan kredit. Caranya, HARA merangkum data terkait profil usaha petani yang menjadi mitranya, kemudian menyalurkannya ke perbankan. Berbekal data itu, bank bisa mengukur risiko dan menentukan besaran bunga pinjaman bagi petani.

Di luar petani dan perbankan, HARA juga mengajak seluruh pemangku kepentingan di sektor pertanian, termasuk pemerintah, hingga organisasi non-profit untuk bergabung dalam ekosistemnya.

“Kami merasa sangat terhormat dapat dibimbing secara langsung oleh Bapak Chatib Basri dalam usaha menciptakan terobosan terbaru melalui teknologi blockchain yang akan memberikan dampak positif bagi sektor pertanian,” ujar CEO HARA, Regi Wahyu.

Mengutip data Bank Dunia, perekonomian Indonesia saat ini termasuk dalam urutan ke 16 dalam kategori perekonomian terbesar di dunia, di mana 33% angkatan kerja bekerja di sektor pangan dan pertanian. Sebanyak 13,95% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berasal dari sektor pangan dan pertanian yang berjumlah US$ 129.6 miliar.

(Baca juga: Vestifarm, Fintech Penyalur Rp 21,3 Miliar Modal Pertanian)

Namun sebagai negara agraris, beragam tantangan juga dihadapi oleh Indonesia, termasuk produktivitas padi dari petani Indonesia yang 14,5% lebih rendah dibanding Vietnam. Ini yang menjadikan biaya produksi menjadi yang termahal se-Asia menurut data dari International Rice Research Institute (IRRI).  

Selain itu, dilansir dari McKinsey Research, rendahnya efisiensi rantai distribusi antar petani ke konsumen juga mengakibatkan petani Indonesia masih harus menghadapi kerugian hingga 20% akibat penurunan kualitas pasca panen. 

Beragam tantangan ini antara lain bersumber dari adanya ketidakmerataan data dan ketidakseragaman informasi terkait dengan kapasitas, pasar dan pembiayaan bagi seluruh pemain di sektor pertanian. “Dalam hal ini berkembangnya teknologi blockchain dapat menjadi solusi bagi tantangan riil yang dihadapi Indonesia dalam sektor ini,” kata Regi.

Reporter: Pingit Aria