Sulitnya akses kredit perbankan menjadi salah satu masalah dalam mengembangkan pertanian di Indonesia. Bursa data HARA mencoba menghubungkan petani dengan perbankan untuk menyalurkan kredit.
HARA merupakan platform data exchange yang merangkum data terkait profil usaha petani yang menjadi mitranya. Kemudian, data itu digunakan untuk membantu mereka memperoleh kredit. Berbekal data itu, bank juga bisa mengukur risiko dan menentukan besaran bunga pinjaman.
Chief Technology Officer (CTO) HARA Imron Zuhri menyampaikan, saat ini ada 3 ribu petani di Jawa Timur yang masuk ekosistem. "Sebanyak 200 petani (di antaranya) di Situbondo sudah terakses perbankan, melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR)," katanya di Grha Tirtadi, Jakarta, Kamis (19/7).
HARA mengadopsi teknologi blockchain dalam transaksi jual beli data antara petani atau kelompok usaha lainnya dengan pihak bank, asuransi, pemerintah dan lainnya.
Adapun data yang ditransaksikan berupa identitas petani sebagai penyedia data; geotagging seperti luas, lokasi, dan kepemilikan lahan; kultivasi seperti waktu dan jenis tanaman, pupuk dan obat yang dipakai; ekologi seperti cuaca dan tipe tanah; hingga nilai transaksi atas penjualan hasil panen.
(Baca juga: Lumens, Mata Uang Digital Milik Stellar yang Bersertifikat Halal)
Untuk melengkapi basis datanya, HARA merangkul beberapa instansi seperti PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), perusahaan penelitian pertanian, BOI Research, instansi pemerintah, dan lembaga non profit (NGO). Dari semua data itu, hanya nilai transaksi yang masih diinput secara manual, sesuai klaim petani.
Imron bercerita, menggaet petani di Indonesia cukup sulit. Sebab, banyak petani yang tak paham fungsi data bagi mereka. Guna menyiasati hal itu, HARA menawarkan poin yang bisa ditukarkan dengan pupuk bagi petani yang mau menjual datanya.
Ia optimistis olah data yang baik secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas petani. Sebab, selain lebih mudah mendapat pendanaan, petani bisa menggunakan basis data itu untuk memilih varietas yang tepat dan memperhitungkan masa tanamnya. Setelah panen, petani juga bisa mengetahui daerah-daerah mana yang membutuhkan hasil buminya.
Berdasarkan data Bank Dunia pada 2012, setiap kenaikan 1% produktivitas petani bisa mengurangi kemiskinan atau jumlah penduduk yang berpenghasilan di bawah US$ 1 atau Rp 14.300 per hari sekitar 0,6-1,2%. Oleh karenanya, HARA menargetkan 2 juta petani tergabung dalam ekosistemnya pada 2020.
(Baca juga: Disebut Halal, Masjid di London Terima Sedekah Bitcoin)
Untuk mencapai target itu, HARA bakal menyasar petani di Vietnam, Thailand, Bangladesh, Kenya, Uganda, Mexico, dan Peru. Menurutnya, persoalan petani di ketujuh negara tersebut nyaris sama dengan Indonesia. Selain itu, HARA membuka transaksi data di sektor lain seperti perikanan dalam jangka menengah panjang.
Chairman of Asosiasi Blockchain Indonesia Steven Suhadi mengklaim, blockchain sangat bermanfaat di banyak sektor di Indonesia. Alasannya, Indonesia berupa negara kepulauan sehingga memiliki tantangan geografis yang berimbas pada sulitnya mengumpulkan data secara tepat. Melalui blockchain, pertukaran data bisa dilakukan dan ada kesepakatan guna mendapatkan data akurat.
Hanya, ia akui tantangannya adalah edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan risiko menggunakan blockchain. Misalnya, pentingnya menjaga password agar akun dalam blockchain-nya tidak disalahgunakan.