Jumlah coworking space di Indonesia meningkat pesat dalam dua tahun. Dari hanya 45 unit pada 2016, jumlah coworking space meningkat tiga kali lipat tahun lalu, menjadi 150 unit. Hingga Juni 2018, Data Asosiasi Coworking Indonesia menunjukkan, jumlah coworking space sudah sekitar 200 unit.
Hanya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Coworking Space Indonesia Felencia Hutabarat menyampaikan, industri ini memiliki banyak tantangan dari sisi regulasi, seperti pajak ataupun perizinan. "Kami tidak punya nomenklatur, sehingga perizinan dan pajaknya masih membingungkan," kata dia saat konferensi pers di JSC Hive, Jakarta, Selasa (26/6).
Dari sisi perizinan, misalnya, coworking space digolongkan sebagai kantor virtual. Di DKI Jakarta, kantor virtual diatur melalui SE PTSP DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2016, yang merupakan pengembangan dari Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 1014 tentang zonasi. Sebelumnya, karena ketiadaan aturan konkret, kantor-kantor virtual sempat ditutup, lalu dibuka kembali pada 2016.
Sayangnya, menurut Felencia, pemahaman pemerintah daerah (pemda) atas perkembangan coworking space ini baru terjadi di DKI Jakarta. Sementara, coworking space mulai dibangun di daerah-daerah terpencil bahkan hingga Papua. "Jakarta sudah lebih mapan secara akses. Kami harap kota-kota kecil lainnya bisa juga merasakan fasilitas yang sama," ujarnya.
Karena ketiadaan nomenklatur juga, pengusaha coworking space kesulitan memenuhi kewajiban pajak. Sebab, tidak ada aturan yang menjelaskan perhitungan pajak industri ini. Sementara, menurutnya bisnis ini hampir mirip dengan fitness center karena memperoleh pendapatan dengan skema per jam. Namun, bisa juga disebut perkantoran karena menyewakan ruang bekerja.
(Baca juga: Investor Australia Siap Buka Coworking Space Khusus Fintech)
Bahkan, pajak coworking space disamakan dengan warung internet (warnet) di beberapa tempat, karena menyediakan tempat kerja dan ada fasilitas internet. "Pembayaran pajak kami bingung. Kami tidak hanya sewakan ruangan, tetapi ruang penuh aktivitas," kata dia. "Karena pajaknya belum jelas, kami berargumen terus dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP)."
Belum lagi, ada coworking space yang berafiliasi dengan bisnis restoran. Alhasil, dikenakan juga pajak restoran, yang semestinya itu dipisah. Di beberapa daerah, bisnis coworking space juga dikenakan retribusi daerah, padahal nomenklaturnya saja tidak ada.
Oleh karenanya, asosiasi ini menandatangani perjanjian kerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) supaya ada kejelasan nomenklatur. Dengan begitu, industri ini bisa berkembang dengan baik dan memenuhi peraturan. "Kami mau bayar pajak," ujar perempuan yang akrab disapa Ellen ini.
CEO of EV Hive Coworking space, yang kini berubah nama menjadi Cocowork, Carlson Lau menambahkan, konsumen di bisnis ini bukan hanya perusahaan rintisan (start-up), tetapi juga industri tradisional. Di perusahannya, 30% konsumen merupakan industri tradisional seperti restoran ataupun manufaktur. Menurut dia, ini adalah bukti bahwa coworking space mulai dimanfaatkan banyak sektor.
Bila pemerintah mendukung industri ini, ia optimistis pengaruhnya terhadap perekonomian juga akan baik. Sebab, ia mengklaim bisnis ini bisa membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berekspansi dengan biaya yang lebih murah. "Kami akan sasar UMKM dan industri tradisional. Jadi sasaran kami luas," ujar Carlson.