Perusahaan teknologi Grab menyatakan, masalah order fiktif tak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, kerugian akibat kecurangan yang dilakukan oleh pengemudi menggunakan aplikasi bisa mencapai 20% dari total transaksi di delapan negara tempat Grab beroperasi di Asia Tenggara.
Hanya, Head of Public Affairs Grab Indonesia Tri Sukma Anreianno menyatakan perusahaannya terus menerus berusaha meminimalisir kecurangan ini. Sebab, praktik ini tak hanya merugikan perusahaan, melainkan juga sesama mitra pengemudi, hingga konsumen.
Tri menyatakan bahwa kecurangan oleh pengemudi Grab Indonesia menurun 80% dibanding tahun lalu. Alasannya, Grab menerapkan dua strategi yakni teknologi dan program. "Penurunan kecurangan ini untuk layanan Grab transportasi, pesan-antar makanan, dan kirim barang," kata dia saat diskusi publik di kantor Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta, Kamis (7/6).
Dari segi teknologi, Grab mengembangkan teknologi yang tertanam di setiap aplikasi yang diunduh oleh pengemudi. Teknologi ini akan mempersulit pengemudi berbuat curang seperti order fiktif atau memasang lokasi palsu (fake Global Positioning System/GPS), karena menggunakan sistem terintegrasi.
(Baca juga: Go-Jek Siapkan Rp 7,1 Triliun untuk Ekspansi ke Empat Negara)
Teknologi kedua adalah pendeteksi. Grab memiliki sistem yang memungkinkan perusahaan untuk mengetahui langsung hal-hal yang mengindikasikan adanya kecurangan. Dengan begitu, Grab Indonesia bisa langsung mengambil tindakan atas pengemudi yang curang.
Lalu dari sisi program, Grab Indonesia memberikan penghargaan kepada konsumen ataupun mitra yang melaporkan kecurangan atau dikenal dengan whistleblower. "Kami sudah dapat 9 ribu masukan, informasi, dan tips," kata dia. Dari laporan itu, Grab sudah melaporkan 10 sindikat pembuat sistem kecurangan ke kepolisian.
Kedua, menerapkan fitur yang memungkinkan peforma mitra tetap terjaga, ketika ada pengemudi yang membatalkan pesanan dalam 30 detik. Sebab, biasanya pembatalan di bawah satu menit itu mengindikasikan order fiktif. Ketiga, fitur untuk mempertahankan peforma mitra yang mendapat pesanan dari konsumen palsu. Keempat, otomatisasi order.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, perseteruan antara Uber dan Didi Chuxing di Tiongkok juga diwarnai aksi curang pengemudi. Hal itu merugikan mitra dan perusahaan setara 30-40% dari total transaksi Uber. Alhasil, Uber mundur dari pasar Tiongkok karena tak mampu mengatasi kecurangan tersebut.
(Baca juga: Valuasi Go-Jek Dekati Grab yang Telah Beroperasi di 8 Negara)
Ada beberapa modus order fiktif yang digunakan oleh pengemudi curang. Di antaranya, pengemudi membuat order fiktif untuk aplikasinya sendiri. Dengan begitu, ia seolah bekerja menyelesaikan order tersebut tanpa beranjak ke mana pun dan honor atau subsidi dari perusahaan akan masuk kantongnya.
Selain itu, pengemudi curang bisa juga memasang order fiktif untuk menyingkirkan rekannya dari lokasi tertentu dan mengurangi persaingan. Modus lain adalah memasang fake GPS pada lokasi strategis, seperti di pusat perbelanjaan yang banyak penumpang, namun sebenarnya ia tak berada di sana.
Sebelumnya, survei Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa modus kecurangan order fiktif memang jamak terjadi di antara para mitra pengemudi transportasi online. Bahkan, 81,4% pengemudi taksi dan ojek online mengaku pernah menjadi korban order fiktif.
Di antara mereka, sebanyak 38,4% dapat sebanyak dua sampai tiga kali sepekan. Ironisnya, pelaku order palsu ini adalah rekan mereka sendiri. "Sebanyak 54% dari mereka yang (mengaku) tahu, menyampaikan kalau temannya melakukan order fiktif untuk mengejar insentif," kata Direktur Program INDEF Berly Martawardaya.