Skandal pencurian data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica telah membuat firma Konsultan politik itu bangkrut. Sebaliknya, meski harus menghadapi masalah hukum, skandal ini tak menggoyahkan kinerja Facebook.

Dikutip dari BBC, Cambridge Analytica dan induk usahanya, SCL Elections Ltd, telah menyatakan diri bangkrut pada awal Mei 2018 lalu, dan akan menutup usahanya. Perusahaan yang bermarkas di Inggris dan Amerika Serikat tersebut menyalahkan pemberitaan media yang berlebihan, sehingga berpengaruh buruk pada kepercayaan klien.

Dalam dokumen kebangkrutan yang diajukan ke pengadilan New York, Cambridge Analytica menyatakan memiliki aset US$ 500 ribu atau setara Rp 7 miliar. Perusahaan juga memiliki liabilitas di kisaran US$ 1 - 10 juta atau sekitar Rp 14 - 140 miliar.

(Baca juga: Facebook Segera Luncurkan Aplikasi Kencan Online)

Kendati perusahaan menutup dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya, regulator tetap akan melakukan penyelidikan terhadap Cambridge Analytica terkait kebocoran data Facebook.

Penyelidikan terhadap Facebook juga masih berlanjut. Setelah bersaksi di hadapan Kongres Amerika Serikat, CEO Facebook Mark Zuckerberg juga akan memberikan keterangan di hadapan Parlemen Eropa untuk menjelaskan detail kasus ini. Kesaksian Zuckerberg di forum Uni Eropa akan digelar secara tertutup, Selasa (22/5) esok.

Toh kasus ini tak menggoyahkan kinerja perusahaan Facebook. Mengutip dari Business Insider, Goldman Sachs mengatakan, pengguna Facebook di AS mencapai 188,6 juta per April 2018 atau naik 7% dibanding periode sama tahun lalu (year on year/yoy). Begitu juga harga sahamnya yang sempat terpuruk pada Maret lalu kini telah pulih.

(Baca juga: Facebook Raup Untung Rp 69,53 Triliun di Tengah Skandal Kebocoran Data)

Sebelumnya, Cambridge Analytica dituduh telah menyalahgunakan data 87 juta pengguna Facebook untuk kepentingan tim kampanye pemilu Presiden AS Donald Trump. Dalam skandal yang terungkap pada Maret 2018 lalu ini, mayoritas pengguna yang datanya diakses secara ilegal berada di Amerika Serikat. Namun, ada juga data pengguna Inggris, Australia, Filipina, bahkan Indonesia yang turut bocor.

Reporter: Desy Setyowati