Teknologi Digital Geser Kebutuhan Tenaga Kerja

Arief Kamaludin|KATADATA
Teknologi digital mengubah kualifikasi tenaga kerja saat ini dihadapkan dengan bentuk pekerjaan nonkonvensional.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
15/3/2018, 09.20 WIB

Perkembangan teknologi digital  menggeser kebutuhan  tenaga kerja. Generasi millenials sebagai regenerasi tenaga kerja  saat ini dihadapkan oleh bentuk pekerjaan yang  non konvensional.

Contohnya ada pada bentuk pekerjaan untuk perusahaan digital seperti Go-Pay dan Tokopedia. Adaptasi teknologi dan ilmuwan data merupakan salah satu pekerjaan yang belum bisa disediakan oleh pendidikan Indonesia.

Chief Executive Officer Go-Pay Aldi Haryopratomo menyatakan belum banyak sekolah dalam negeri yang menyediakan kemampuan yang dibutuhkan. “Kami harus sabar karena banyak teman yang belajar sendiri,” kata Aldi di Kota Kasablanka Mall, Jakarta, Rabu (14/3).

(Baca : Geliat Kantor Pos Bertahan dari Tekanan Era Digital)

Meski begitu, pembelajaran merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja dalam dunia teknologi digital. Pasalnya, risiko terjadinya kesalahan bisa ditekan dan menjadi startegi mengembangkan teknologi itu sendiri.

Aldi juga mengungkapkan, sebagian besar karyawan yang ada di Go-Pay merupakan generasi millenials, sesuai dengan sistem kerja teknologi digital yang diminati anak muda. dan hanya sekitar 3% pekerja yang berusia di atas 35 tahun. 

 “Rata-rata pekerja berusia 25 tahun,” tuturnya.

Chief Executive Officer (CEO) Tokopedia Willjam Tanuwijaya juga menuturkan bahwa dari 2 ribu pegawai perusahaan, 95% di antaranya merupakan  karyawan berusia muda. Kebanyakan pekerja yang ada di Tokopedia bekerja untuk pertama kali setelah lulus kuliah.

Menurutnya, membangun teknologi bisa dilakukan bersamaan dengan membangun sumber daya manusia. “Teknologi memberi akses untuk belajar apa saja,” kata William.

Ia pun menyebutkan bahwa pekerja muda lebih kritis karena sistem pendidikan yang lebih modern dengan  kurikulum terjadi dua arah.

Karenanya William  menyarankan supaya kurikulum pendidikan harus mampu mengikuti kemajuan teknologi. “Harus bisa mengkondisikan tidak hanya hard skill tetapi juga soft skill,” tuturnya.

Berbeda dengan dua perusahaan sebelumnya, Direktur PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk Axton Salim justru  mengungkapkan bahwa 35% millenials dari 58 ribu karyawan perseroan memberikan ekspektasi baru. Meski perusahaannya telah berdiri selama puluhan tahun, Axton  mencoba supaya anak muda bisa beradaptasi dengan industri manufaktur.

(baca juga : Chatib Basri Prediksi Teknologi Ciptakan 5,1 Juta Pengangguran Baru)

Meski begitu,  diakuinya adaptasi teknologi  bisa saja dilakukan di industri manufaktur, walau masih berupa otomatisasi. “Kami mendukung dalam konsep magang untuk meningkatkan kepercayaan diri pekerja muda,” kata Axton.

Karenanya, dia lebih memilih memanfaatkan teknologi lewat perusahaan digital lain yang lebih mengenal konsumen. Contohnya melalui kerja sama dalam peningkatan kepedulian konsumen terhadap nutrisi lewat Ruangguru.

Ruangguru sendiri memiliki lebih dari 6 juta pengguna dari SD hingga SMA. “Isu stunting menjadi kepedulian kita semua dan kunci bagi pertumbuhan Indonesia,” tutur Axton.

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menjelaskan pemerintah peduli terhadap pendidikan, buktinya dengan porsi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 20%.

Ia menyebutkan, belanja pemerintah untuk pendidikan diakokasikan sebesar Rp 440 triliun, dimana  Rp200 triliun untuk gaji guru. “Memang harus ada terobosan baru dalam mendidik anak usia sekolah dengan memanfaatkan teknologi,” ujar Rudiantara.