Bank Indonesia (BI) menegaskan penggunaan mata uang digital sebagai alat pembayaran dilarang. Namun, Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko belum bisa memastikan legalitas statusnya sebagai komoditas ataupun aset lantaran perlu berkoordinasi dulu dengan instansi lainnya.
"Ada yang bilang dia itu komoditi, currency (mata uang), atau aset. Makanya kami koordinasi (dengan instansi lain yang berwenang), jadi tidak bisa dijawab sekarang (kejelasan statusnya). Mungkin nanti setelah koordinasi akan disampaikan," kata Onny saat Konferensi Pers di Kantornya, Jakarta, Senin (15/1).
Ia menjelaskan, pihaknya terus berkoordinasi dengan instansi lainnya untuk mengkaji lebih dalam soal mata uang digital. Instansi yang dimaksud yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Adapun kajian BI diklaim sudah di tahap akhir. Maka itu, sebagai otoritas sistem pembayaran, BI pun sudah menegaskan larangan penggunaan mata uang digital sebagai alat bayar. Aturan terkait juga diklaim sudah cukup lengkap, yaitu Undang-Undang (UU) Mata uang, Peraturan BI (PBI) terkait teknologi finansial, PBI Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dan PBI kewajiban penggunaan rupiah.
"BI ini kajiannya yang sudah diujung,” kata Onny. Berdasarkan kajian tersebut, ia juga menyatakan, mata uang digital berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan. Maka itu, BI juga mengimbau agar masyarakat tidak memperjualbelikan mata uang digital. (Baca juga: BI Peringatkan Masyarakat Agar Tidak Menjualbelikan Mata Uang Virtual)
"Di stabilitas sistem keuangan, bahayanya adalah proses penciptaaan uangnya. Kalau uang ada aturannya, bitcoin (naik) 164 kali lipat itu berapa persen. Jadi kalau proses penciptaan uangnya berlebihan, buat apa uang untuk layani uang? Nanti jumlah uang berlimpah. Ini yang jadi concern BI," kata dia.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V. Panggabean menambahkan, data pemilik mata uang digital juga sulit dilacak. Sebab, pemiliknya bisa menggunakan nama samaran alias pseudonim.
"Karena pseudonim (samaran). Datanya sulit dilacak. Untuk kejahatan nyaman sekali karena tidak diketahui (nomor) Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya. Kan sulit itu cari data di (kasus) Alam Sutera,” ucapnya.
Ia mengakui ada beberapa negara yang melegalkan mata uang digital, misalnya Jepang. Namun, ia menilai kondisi Jepang dan Indonesia berbeda. "Saya tidak pernah dengar tuh di Jepang ada terorisme. Makanya tidak bisa disamakan Indonesia dengan Jepang, karena sifat suatu negara, struktur penduduk dan culture kebiasaannya itu harus dilihat," ucapnya.