RI Bakal Sulit Ikuti Jerman Atasi Ujaran Kebencian Lewat Denda Tinggi

ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Warga membubuhkan cap tangan saat aksi "Kick Out Hoax" di Solo, Jawa Tengah, 8 Januari 2017.
Penulis: Yuliawati
5/1/2018, 07.52 WIB

Pemerintah Jerman menerapkan undang-undang baru mengenai ujaran kebencian dengan ancaman denda hingga US$ 60 juta atau setara dengan Rp 805 miliar (nilai mata uang saat ini) bagi platform media sosial. Undang-undang yang dikenal dengan Network Enforcement Act (atau NetzDG), sebenarnya berlaku mulai Oktober tahun lalu, namun diberikan masa tenggang dan efektif mulai 1 Januari 2018.

Dikutip dari Deutch Welle, aturan ini berlaku bagi beragam platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Google, YouTube, Snapchat, dan Instagram. Namun, tidak berlaku bagi platform jaringan profesional LinkedIn dan jalur percakapan pribadi WhatsApp.

NetDG mewajibkan setiap platform internet di Jerman menerapkan sistem untuk menghapus konten ujaran kebencian, berita palsu (hoaks), ancaman kekerasan, fitnah dan materi ilegal lainnya.

(Baca: Setelah Telegram, Jokowi Pastikan Tak Blokir Media Sosial Lain)

Pemerintah Jerman memberikan batas waktu kepada platform media sosial selama 24 jam atau tujuh hari untuk kasus yang kompleks, untuk menyelidiki dan menghapus konten ilegal setelah ada keluhan. Bila melanggar, pemerintah langsung menarik denda kepada perusahaan tersebut.

Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto menilai  NetzDG menjadi batu ujian bagi penerapan pembatasan ekspresi di internet bukan hanya buat Jerman tapi Uni Eropa. Damar menyebutkan aturan ini merupakan terobosan yang bagus dan ampuh, meski belum teruji.

"Bagus dalam arti dalam hal ini melibatkan pihak yang memang seharusnya memanggul tugas bersama memberantas hate speech yaitu penyedia platform dan ampuh dalam arti terukur apa yang diharapkan," kata Damar kepada Katadata, Kamis (4/1).

Damar mengatakan aturan yang merupakan terobosan ini, sulit bila diterapkan di Indonesia. Kendalanya dalam peraturan perundangan RI tak mengatur mengenai sistem denda di internet. "Rezim hukum di Indonesia masih pemidanaan penjara," kata Damar.

Salah satu negara Asia Tenggara yang siap menerapkan aturan denda dalam ujaran kebencian di antaranya Singapura. Namun, negara tersebut mengatur denda terhadap perorangan, dan bukan institusi atau perusahaan penyedia teknologi. "Kurang begitu bagus karena bersemangat "memiskinkan"," kata dia.

(Baca: Berantas Ujaran Kebencian, Algoritma Twitter Saring Kata Kasar)

Tuai kritikan 

Undang-undang NetzDG selain mendapat dukungan juga ditentang beberapa pihak. Wakil pimpinan partai sayap kanan AfD, Beatrix von Storch, merupakan salah satu penentang aturan tersebut. Bahkan di hari pertama aturan ditetapkan, Storch, membuat cuitan unggahannya di Facebook dan Twitter yang dianggap bentuk ujaran kebencian, sebagai respons terhadap polisi Cologne yang mengirimkan sebuah pesan dalam bahasa Arab. Akun Storch sempat diblokir sementara dan dihapus oleh kedua platform media sosial tersebut.

Organisasi wartawan Reporters Without Borders dan aktivis internet juga mengajukan protes keberatan karena pemerintah menyerahkan tugas penghapusan konten kepada perusahaan platform, dan tidak melalui keputusan pengadilan.

Sementara itu organisasi nirlaba Digitale Gesellschaft  mengatakan bahwa undang-undang tersebut telah disusun dengan tergesa-gesa. "Memerangi ucapan kebencian yang dituntut adalah tugas untuk keseluruhan masyarakat, mengatasinya hanya bisa berhasil berdasarkan konsep pemikiran dan koheren melalui usaha bersama oleh masyarakat sipil," kata Volker Tripp, direktur politik Digitale Gesellschaft.

(Baca: Anak Muda Pilih Digital, Penyebab Majalah Rolling Stone dan FHM Tutup)