Registrasi Kartu Prabayar Dinilai Mengancam Hak Privasi Konsumen

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Tanpa ada aturan perlindungan data, registrasi kartu prabayar dianggap berbahaya.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
18/10/2017, 18.54 WIB

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai aturan registrasi kartu prabayar yang diterbitkan pemerintah berpotensi melanggar hak privasi warga negara. Apalagi hingga saat ini pemerintah belum memiliki regulasi yang jelas mengatur perlindungan data pribadi.

Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar menilai, saat ini ada 32 Undang-undang yang memiliki konten penggunaan data pribadi, baik dari sektor telekomunikasi, keuangan dan perbankan, perpajakan, kependudukan, kearsipan, penegakan hukum, dan keamanan. Sayangnya, dari berbagai aturan tersebut tidak ada yang secara spesifik mengatur perlindungan data pribadi.

"Tidak satupun mengatur bagaimana mekanisme perlindungan data yang direkam," kata Wahyudi di kantornya, Jakarta, Rabu (18/10). (Baca: Kominfo Mulai Sosialisasi Pendaftaran Kartu Seluler, Begini Caranya)

Dengan kekosongan aturan terebut, menurut Wahyudi, potensi ancaman pelanggaran hak privasi warga terbuka luas. Alasannya, dalam prosesnya pengumpulan data dari Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK) memang dilakukan tersentralisasi oleh pemerintah.

Namun, proses validasi tetap dilakukan oleh operator, sehingga ketiadaan aturan memberikan peluang penyalahgunaan pengumpulan data pribadi. "Registrasi SIM card ini terlalu mengancam," kata Wahyudi.

(Baca: Operator Tri Sebut Aturan Registrasi SIM Card Bakal Ganggu Bisnis)

Wahyudi menuturkan, Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang belum mengatur perlindungan data pribadi warganya. Dari catatan Elsam, saat ini sudah ada 16 dari 88 negara yang memiliki aturan yang sangat kuat dalam melindungi warga negara. Sebanyak 24 negara kuat perlindungannya, 32 negara dalam kategori sedang, dan 16 negara dalam kategori rendah.

"Sebanyak 16 negara yang masuk dalam kualifikasi kurang melindungi data pribadi termasuk Indonesia," kata Wahyudi.

Wahyudi menambahkan, Indonesia merupakan delapan dari 88 negara di dunia yang tak punya UU Perlindungan Data, namun tetap memberlakukan kebijakan registrasi kartu prabayar. Indonesia bersanding dengan Brazil, Tiongkok, Mesir, Pakistan, Arab Saudi, Swiss, dan Zimbabwe.

"Indonesia merupakan negara yang tidak memiliki UU Perlindungan Data Pribadi tapi mewajibkan registrasi SIM card," kata dia.

(Lihat Ekonografik: Tak Terdaftar, Nomor Ponsel Diblokir)

Selain melanggar hak privasi, pemerintah juga berpotensi menghambat hak warga memperoleh informasi karena tidak dapat mengakses perangkat digital. Pasalnya, saat ini masih ada masyarakat yang data pribadinya belum terdaftar pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

"Bagaimana yang belum terdata? Ini akan menghambat akses mereka terhadap informasi karena tidak bisa mengakses perangkat digital," kata peneliti Elsam Miftah Fadli.

Atas dasar itu, Elsam pun mendesak agar pemerintah terlebih dahulu melakukan sinkronisasi regulasi sebelum menerapkan kewajiban registrasi kartu prabayar. Pemerintah dan DPR juga didesak segera mengagendakan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi dalam Program Legislasi Nasional mendatang.

"Aturan ini nantinya mengikat bagi sektor publik maupun swasta yang memiliki layanan penyimpanan data," kata Wahyudi.

Selain itu, akses publik terhadap informasi, pemahaman, dan kesadaran ancaman terhadap privasi. Wahyudi mengatakan, upaya ini dapat dilakukan dengan menyediakan informasi yang cukup mengenai potensi gangguan terhadap privasi.

"Juga dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga memahami risiko dari setiap keputusan dalam penggunaan sarana tersebut," tambah Wahyudi.