OJK Ungkap Alasan Tak Atur Ketat Bunga Fintech Pinjam Meminjam

Agung Samosir | Katadata
Penulis: Miftah Ardhian
15/9/2017, 20.11 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan tidak akan mengatur terlalu ketat bisnis perusahaan rintisan (startup) di bidang financial technology (fintech) pinjam meminjam (peer to peer lending), terutama terkait besaran bunga pinjaman. Regulator bagi lembaga keuangan ini hanya berfokus pada hal lain.

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan OJK memiliki dua pedoman terkait regulasi ini. Pertama, perlindungan konsumen. OJK ingin memastikan dana yang terhimpun dan data nasabah tidak disalahgunakan, dan tidak semakin memiskinkan masyarakat. Kedua, perlindungan kepentingan nasional, yakni memastikan fintech tidak menjadi tempat pencucian uang (money laundering), penyandang dana terorisme, dan sebagainya.

(Baca: Transaksi Fintech Diprediksi Naik 24% Jadi Rp 249 Triliun Tahun Ini)

Dua pedoman ini menjadi alasan utama OJK tak akan mengatur secara ketat bunga yang ditetapkan dalam bisnis tersebut. Dalam Peraturan OJK dengan nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi telah ditekankan bahwa besaran bunga hendaknya mengacu pada kondisi perekonomian saat ini.

"Yaa sekarang kan sekitar 10%, 12%, sampai 20%. Kira-kira disekitar situ lah bunganya," ujar Hendrikus saat ditemui di Pacific Place, Jakarta, Jumat (15/9).

Hendrikus mengatakan OJK tidak bisa mengatur besaran bunga tersebut karena yang menentukan adalah si peminjam itu sendiri. Dia mencontohkan satu orang berminat melakukan pinjaman sebesar Rp 1oo juta dengan bunga 10% pertahun. Maka, peminjam dapat memilih apakah berminat meminjamkan atau tidak. Berbeda dengan perbankan yang menetapkan bunganya sendiri sehingga perlu aturan yang lebih rinci.

(Baca: Kolaborasi Fintech dan Bank Akan Genjot Penyaluran Kredit)

Walaupun tidak diatur secara rinci seperti perbankan, Hendrikus menekankan, fintech khususnya di sektor pinjam meminjam ini hendaknya mematuhi dua pedoman tersebut. Jika masih ragu apakah sudah sejalan dengan regulasi yang diterbitkan OJK, maka perusahaan tersebut diimbau bergabung di perusahaan akselerator atau inkubator yang disedikan. Karena, dua fasilitas tersebut akan melihat bisnis fintech ini apa sudah sejalan dengan regulasi atau tidak.

"Jangan sampai sudah mengeluarkan uang, tenaga, dan waktu yang banya baru sadar kalau bisnisnya melanggar aturan," ujarnya.

Mengacu POJK 77/2016, Hendrikus mengatakan, OJK akan segera mengeluarkan surat edaran guna memperketat transaksi yang dilakukan oleh fintech peer to peer lending ini. Salah satu yang ditekankan adalah perlunya perusahaan ini menyiapkan aplikasi yang bisa mendata peminjam secara rinci tanpa harus bertatap muka secara langsung.

Hendrikus menjelaskan aplikasi ini harus mempu merekam data peminjam yang didalamnya terdapat nomor identifikasi pribadi (PIN), pemindai sidik jari (finger print), tanda tangan digital, pengenal wajah, dan bisa melakukan video conference. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa peminjam adalah orang yang benar-benar akan dipinjamkan, sehingga dapat meningkatkan pengamanan.

(Baca: OJK Wajibkan Fintech Pinjam-Meminjam Miliki Sistem Data Nasabah)

Selain itu, surat edaran ini juga berisi tentang tata cara pinjam-meminjam secara lengkap dan pembuatan kontrak antara investor dengan peminjam yang difasilitasi perusahaan fintech. Kemudian penanganan resiko apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, Hendrikus memastikan belum memberi batas waktu akhir guna memenuhi kewajiban tersebut.

Untuk itu, Hendrikus menyatakan OJK juga punya wacana pusat informasi fintech atau 'fintech center'. Nantinya, seluruh pihak seperti Bank Indonesia (BI), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), OJK, dan lembaga terkait lainnya bergabung untuk berdiskusi guna mengeluarkan kebijakan yang mendukung perkembangan fintech, tapi tetap tak mengabaikan dua pedoman perlindungan tersebut.

"Tidak boleh ada satu inovasi teknologi yang luput dari regulasi," ujar Hendrikus.

Presiden Direktur Danamas Dani Liharja, yang merupakan salah satu pelaku usaha fintech peer to peer lending menjelaskan dalam POJK 77/2016 sebenarnya sudah mengatur bisnis ini dengan cukup baik. Dia pun mengimbau para pelaku, utamanya yang baru mau terjun ke bisnis ini, untuk bisa menaati aturan tersebut.

Jangan sampai, berlari terlalu kencang, tetapi di tengah-tengah bisnisnya dihentikan. "Lebih baik komunikasi lebih dulu, baru buat usahanya," ujar Dani. (Baca: Geliat Bisnis Fintech Pinjam-Meminjam, Investor Crowdo Untung 21%)