Aksi unjuk rasa yang berujung kisruh pada 22 Maret silam menjadi klimaks serangkaian protes dari industri taksi di Indonesia yang meminta penyedia jasa aplikasi transportasi seperti Uber dan Grab dicekal. Namun, Kementerian Perhubungan tetap mengizinkan Grab dan Uber beroperasi sembari menyusun peraturan untuk perusahaan taksi, penyedia jasa rental mobil serta perusahaan teknologi transportasi.
Pekan lalu pemerintah menerbitkan payung hukumnya yang digodok sejak Maret 2016, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. (Baca: Pemerintah Akan Kontrol Tarif Uber dan Grab Car).
Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyatakan ada beberapa bagian dari peraturan baru ini yang menjadi perhatian khusus para pengemudi sebagai mitra mereka. Bahkan, peraturan itu dianggap bisa mempengaruhi model bisnis dalam industri perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi.
“Kami berharap pemerintah juga mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasi para pengemudi yang menjadi mitra kami, serta bersama-sama mencari solusinya,” ujar Ridzki seperti dilansir Tech in Asia, Sabtu, 23 April 2016.
Di satu sisi, peraturan setebal 75 halaman ini mengakhiri perdebatan mengenai legalitas perusahaan aplikasi jasa transportasi. Di sisi lain, peraturan itu menghadirkan berbagai tantangan baru bagi perusahaan startup.
Ada tujuh poin penting dari peraturan Menteri Perhubungan tersebut. (Ekonografik: Aturan "Pengikat" Taksi Online)
1. Tidak memerlukan pelat kuning
Salah satu permintaan perusahaan-perusahaan taksi selama unjuk rasa beberapa waktu lalu adalah ketaatan Uber dan Grab terhadap peraturan mengenai kendaraan umum yang berlaku, seperti halnya taksi. Uber dan perusahaan sejenis lainnya sudah mengklaim bukan merupakan perusahaan transportasi umum dan para pengemudi mereka menyediakan jasa serupa rental mobil pribadi.
Peraturan ini pun menghadirkan istilah “angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek” sebagai jalan keluar dilema saat ini. Hal itu menjadikan taksi dengan argo meter dan mobil rental masuk kategori yang sama –bukan transportasi umum maupun pribadi.
Istilah “kendaraan umum” diartikan sederhana sebagai “kendaraan yang dibayar penumpangnya”. Kendaraan umum tidak perlu menggunakan pelat kuning layaknya angkutan umum seperti bus kota. Namun saat ini taksi menggunakan pelat kuning. Dengan demikian, peraturan Menteri Perhubungan tersebut akan membuat aturan mengenai pelat kuning ini tidak berlaku lagi.
2. Uber dan Grab tidak bisa bekerja langsung dengan pemilik mobil pribadi
Ini adalah hambatan terbesar bagi Uber dan perusahaan sejenis lainnya di Indonesia. Mereka tidak diizinkan bermitra langsung dengan pemilik mobil pribadi. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan itu, perusahaan aplikasi penyedia teknologi untuk transportasi pribadi harus bekerjasama dengan pengemudi dari perusahaan transportasi yang telah terdaftar, seperti perusahaan rental mobil. Poin ketiga berikut ini akan menjelaskannya.
3.Pengemudi harus dinaungi perusahaan rental mobil
Pengemudi yang ingin bekerja untuk perusahaan aplikasi harus berada di bawah perusahaan rental mobil. Ketentuan ini membuat calon pengemudi mesti melewati banyak tahapan untuk bisa bergabung dengan Uber maupun Grab. Mereka harus mendaftarkan kendaraan mereka ke perusahaan rental mobil. Proses ini memerlukan pemeriksaan kendaraan untuk aspek keselamatan.
Selain itu, kendaraan harus dilengkapi nomor hotline layanan pelanggan di bagian dalam mobil dan stiker pengenal di sisi luar. Bukan hanya itu. Perusahaan rental mobil harus memenuhi sederetan ketentuan. Beberapa di antaranya adalah harus memiliki minimal lima kendaraan, mempunyai pool dan garasi.
4. Perusahaan aplikasi tidak boleh melakukan perekrutan
Ini isu penting lainnya untuk Uber dan perusahaan sejenis. Menurut peraturan ini, perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi tidak boleh merekrut pengemudi. Artinya, tidak aka nada iklan ataupun kegiatan perekrutan. Dengan demikian, perusahaan startup akan memberi kuasa kepada perusahaan rental mobil untuk perekrutan pengemudi. Hal ini menciptakan kerumitan lainnya dalam proses perekrutan pengemudi.
5. Perusahaan aplikasi tidak bisa menetapkan harga
Perusahaan-perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi tidak lagi diperbolehkan menentukan tarif dan kompensasi bagi pengemudi
6. Harus mengumumkan data pengemudi dan kendaraan
Perusahaan startup aplikasi penyedia jasa transportasi juga diminta melaporkan jumlah pengemudi dan kendaraan kepada Kementerian Perhubungan. Di dalamnya harus ada data nama perusahaan rental, serta informasi mengenai mobil dan pengemudi dalam jaringan mereka.
7. Masih belum ada aturan khusus untuk motor
Dokumen dengan tebal berpuluh-puluh halaman ini tidak sekalipun menyebut kehadiran kendaraan roda dua. Artinya, tidak ada aturan untuk transportasi berbasis motor. Hal ini membuat UberMoto, GrabBike dan Go-Jek tidak tersentuh, setidaknya untuk saat ini.
Uber dan perusahaan sejenis lainnya harus menjalin kedekatan dengan industri rental mobil, atau bahkan menciptakan entitas sendiri yang bisa mereka kendalikan. Misalnya Grab, yang telah membentuk Perkumpulan Pengusaha Rental Mobil Indonesia (PPRI). Entitas legal ini menjadi basis bagi pengemudi Grab. Bagaimanapun juga, ada waktu selama enam bulan sebagai masa transisi untuk menjalankan peraturan tersebut.
Go-Jek yang kini telah melebarkan sayap ke layanan Go-Car belum berkomentar mengenai peraturan baru ini. Begitu pula dengan Uber.
Sebelumnya, Uber dan Grab Car mendapat cap ilegal karena tidak termasuk dalam kategori angkutan penumpang. Ketentuan ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan UU tersebut, hanya taksi dan mobil sewaan yang merupakan angkutan penumpang tanpa trayek. (Baca: Grab Bukan Operator Layanan Transportasi)
Meski ilegal, Kementerian Perhubungan tidak memiliki kewenangan memblokir aplikasi layanan online untuk angkutan transportasi. Kementerian hanya bisa memberi masa transisi bagi Uber dan Grab Indonesia untuk memenuhi dan mengikuti aturan yang berlaku. Selama masa transisi hingga 31 Mei mendatang, status quo diberlakukan bagi para penyedia layanan transportasi ini. Jadi, mereka tidak boleh menambah armada, namun tetap boleh beroperasi jika aramada sudah terdaftar.