Masa karantina akibat pandemi virus corona di banyak belahan dunia, membawa berkah peningkatan pengguna platform video streaming. Data Statista misalnya, menunjukkan peningkatan pengguna di berbagai negara pada akhir pekan 13-14 Maret lalu. Austria menjadi negara dengan peningkatan tertinggi dalam kurun itu, sebesar 44%. Disusul Spanyol (42%) dan Jerman (32%).
Penyedia layanan video on demand (VoD) seperti iFlix dan Hooq mengalami peningkatan transaksi di Indonesia selama kebijakan #dirumahaja dilakukan sejumlah instansi, perusahaan dan lembaga pendidikan untuk memutus rantai penularan corona.
Head of Marketing iFlix Indonesia Tiara Sugiyono kepada Katadata.co,id pada 24 Maret menyatakan, jumlah pengguna naik 25% sejak diberlakukannya #dirumahaja. Sedangkan lama penggunaan layanan meningkat 35%. Meskipun ia menolak peningkatan terjadi semata karena kebijakan #dirumahaja, tapi juga karena strategi perusahaannya merilis film Indonesia baru seperti Bike Boyz dan Trinity Traveler.
(Baca: Transaksi Naik, Hooq, iFlix, Viu, dan GoPlay Beri Diskon Work From Home)
Tak Cuma itu, iFlix menyatakan pengguna aktif bulanannya mencapai 21 juta orang di seluruh dunia. Naik 42% sejak awal tahun ini. Menurut Tiara, iFlix juga menawarkan promosi ribuan akses gratis VIP selama sebulan penuh.
Senada, Hooq juga mencatatkan peningkatan trafik meskipun tak signifikan. Country Head Hooq Indonesia Guntur Siboro menyatakan kenaikan trafik lebih karena konten baru yang ditayangkan. Tak seperti Iflix, Hooq tak memberikan promosi karena sudah memiliki layanan gratis.
Ternyata berkah peningkatan trafik tak menjamin iFlix kuat menahan stabilitas perusahaan di tengah pandemi covid-19. Melansir DealStreetAsia, perusahaan ini melakukan PHK terhadap kurang dari 65 karyawannya dari berbagai pasar dan posisi beragam.
Melalui keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id, Jumat (17/4), CEO iFlix Marc Barnett membenarkan kabar tersebut. Ia mengatakan, “keputusan kami mengurangi jumlah karyawan perusahaan diambil setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah memangkas biaya lainnya.”
Pendeknya, langkah tersebut diambil supaya iFlix bisa bertahan di tengah kepastian dan keterbatasan akibat pandemi covid-19. Namun, Barnett menyatakan pihaknya tetap menargetkan bisa mencapai titik impas (break even point/BEP) pada 2021.
“Langkah-langkah ini merupakan bagian dari memastikan kami tetap berada di jalur itu dan dapat menavigasi tantangan saat ini,” kata Barnett.
Barnett pun menegaskan perusahaannya melakukan berbagai upaya untuk mendukung staf yang terdampak pandemi. Baik secara profesional, maupun secara pribadi.
Sementara Hooq pada akhir Maret lalu mengajukan likuidasi di Singapura. Perusahaan ini beralasan belum mampu tumbuh secara memadai untuk mengembalikan modal berkelanjutan atau menutupi biaya operasional yang meningkat. Namun perusahaan ini belum menutup layanan.
(Baca: iFlix Respons Kabar PHK Karyawan Akibat Corona dan Utang)
Trafik Tak Bisa Jadi Penyelamat Keuangan Perusahaan
Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia, Jefri R Sirait menilai kondisi yang menimpa iFlix dan Hooq bukan satu anomali. Sebab menurutnya, peningkatan jumlah trafik dengan stabilitas keuangan perusahaan adalah dua hal yang berlainan meskipun tetap memiliki keterkaitan.
Dalam melihat kondisi keuangan sebuah startup, kata Jefri, mesti mengetahui rincian pendapatannya. “Harus tahu dulu revenue yang paling besar dari mana,” kata Jefri kepada Katadata.co.id, Jumat (17/4).
Setelah itu, menurut Jefri, penting melihat sumber pendanaan startup tersebut. Jika berasal dari investor menurutnya akan lebih jelas. Namun, jika berasal dari pinjaman akan menyusahkan karena memiliki jatuh tempo.
“Kalau dia punya utang jatuh tempo dia harus mengeluarkan cash yang besar. Apakah dia punya cash?”, kata Jefri.
Dalam konteks iFlix, Jefri mengatakan efisiensi pegawai menjadi langkah paling rasional di saat perusahaan mempunyai pinjaman yang telah jatuh tempo. Sebab, barangkali menurutnya iFlix tak memiliki uang tunai dalam jumlah besar untuk menutup itu dan peningkatan pendapatan dari trafik tak berkontribusi banyak.
Variety pada 5 April melaporkan iFllix telah memasuki masa tenggat pembayaran utang begitupun sulit melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) di Australian Securities Exchange. Maka, perusahaan meminta para pemegang saham untuk menyediakan modal tambahan. iFlix pun menyampaikan bahwa Catcha Group akan memasang modal minimal US$ 2 juta.
Dealstreet Asia pun melaporkan bahwa iFlix kemungkinan akan dipaksa menebuh lebih dari US$ 47,5 juta atau Rp 747 miliar utang konversi bila tak segera melakukan IPO pada 31 Juli 2020. Hal ini diketahui dari dokumen yang diajukan ke Komisi Sekuritas dan Investasi Australia pada September 2019.
“Dia harus IPO sekarang tidak waktunya. Karena capital market tidak bagus. Bukan hanya di Australia, di seluruh dunia juga sedang tidak bagus karena corona,” kata Jefri.
(Baca: Hooq Berencana Likuidasi Karena Belum Profit, Layanan Tetap Jalan)
Selanjutnya, Jefri menyoroti perkara strategi penjualan. Menurutnya, kompetitor iFlix dan Hooq saat ini melakukan promosi yang lebih memancing. Ia mencontohkan Netflix yang di luar negeri memberikan layanan premium gratis untuk menarik pengguna dan ditopang dengan konten-konten lebih eksklusif.
“Jadi memang harus mengupayakan strategi yang lebih baik dari kompetitor,” kata Jefri.
Meskipun begitu, Jefri mengatakan startup VoD masih tetap bisa bertahan selama pandemi dengan syarat tetap menunggu dan tak mengambil langkah gegabah. Termasuk dengan melakukan efisiensi. Hal ini menurutnya setidaknya dilakukan sampai kuartal pertama 2021
“Sektor hiburan tetap diperlukan karena orang tetap butuh hiburan saat sulit. Akan tetap ada pasarnya. Kita di kondisi begini harus tetap bergerak. Sehingga caranya tidak harus sama dengan kondisi normal. Tetap wait and see sampai kondisi membaik. Pasar satu turun, tapi ada pasar lain,” kata Jefri.
(Baca: Pengangguran di AS Melonjak, Netflix Hingga Apple TV Gratiskan Layanan)