Persaingan Atlet Kompetitif, Tiap Tahun Ada Bintang Baru
Bagi Bos RRQ Adrian, e-sports lebih kompetitif dibandingkan olah raga konvensional. Ini lantaran batasan masuk alias entry barrier yang sangat rendah. Untuk menjadi pemain sepak bola atau pemain bulu tangkis profesional misalnya, seseorang harus berlatih sejak kecil, kemudian mengikuti kejuaraan-kejuaraan yang berjenjang. “E-sports beda,” ujarnya.
Di e-sports, seseorang bisa menjajal gim A tahun lalu, tapi tidak cukup jago, lalu tahun ini menjajal gim baru yang disukai banyak orang dan ternyata cukup jago. “Apakah dia bisa menjadi professional player? Bisa,” ucapnya. Ini karena gim bisa dipelajari dengan cepat. Meski begitu, karier pemain profesional e-sports sangat singkat.
Bila atlet olah raga konvensional biasanya mulai di usia 17-18 tahun, kemudian berkarier hingga rata-rata usia 32-33 tahun, atlet e-sports biasanya hanya akan berkarier selama 4-5 tahun. Penyebabnya beragam, ada talenta baru yang tiba-tiba muncul dan memiliki kemampuan yang bagus, gim berubah dan pemain tidak mampu beradaptasi, atau ada gim baru.
Meski begitu, hadiah kemenangan di satu kejuaraan besar sudah cukup bagi para pemain. Sebagai gambaran, hadiah juara dunia Mobile Legends M1 e-sports yang dimenangkan tim Evos Legends tahun lalu mencapai Rp 1,1 miliar. Free Fire World Cup 2019 yang juga dimenangkan Evos memberikan hadiah lebih dari Rp 700 juta.
Kejuaraan dunia gim komputer DOTA 2 bahkan menyediakan total hadiah US$ 30 juta tahun lalu atau lebih dari Rp 450 miliar. Para pemain profesional ini juga mendapatkan gaji bulanan dengan besaran yang beragam tergantung negosiasi. Di Indonesia, pemain profesional baru bisa digaji Rp 5 juta sampai Rp 10 juta per bulan, sedangkan di luar negeri bisa puluhan juta.
Selama ini, klub e-sports menggunakan beragam jalur untuk terus menjaring talenta baru guna membangun tim yang kuat. Bos Evos Aldean menjelaskan, yang paling sering terjadi adalah akuisisi tim yang sudah jadi. Tim-tim e-sports yang berhasil memenangkan kompetisi namun belum memiliki sponsor biasanya langsung diperebutkan klub dengan tawaran kontrak yang "fantastis".
Akuisisi tim lebih mudah dibandingkan membangun tim dari nol karena kekompakan butuh waktu. Mekanisme lainnya, perekrutan berbasis rekomendasi dari pemain profesional. Selain itu, transfer alias jual beli pemain seperti halnya dalam sepak bola.
Klub juga ada yang mendatangkan pemain dari tim di negara lain. Meskipun, menurut Aldean, Evos sendiri lebih mengoptimalkan pemain-pemain dari dalam negeri. Alasannya, tim Evos di luar negeri belum tentu memiliki divisi gim yang sama dengan Indonesia.
Sebagai informasi, Evos telah memiliki tim e-sports di empat negara selain Indonesia yakni Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Beberapa klub Indonesia lainnya juga punya divisi e-sports di luar negeri. RRQ misalnya memiliki tim di Thailand, sedangkan Onic di Filipina.
Alasan lain Evos mengoptimalkan pemain lokal yakni proses administrasi untuk mendatangkan pemain dari luar negeri rumit. Untuk bisa bermain di liga resmi Indonesia, misalnya, pemain asing membutuhkan visa kerja. Pengurusan visa kerja ini penting agar tidak ada masalah ketika pertandingan berlangsung.
Di luar mekanisme-mekanisme tersebut, ada juga jalur perekrutan lewat pendaftaran terbuka. Evos secara reguler membuka jalur ini biasanya setelah season berakhir. Alasannya beragam, dari mulai ada anggota tim yang pensiun, ingin istirahat sementara, performa kurang bagus sehingga dicadangkan, atau penyegaran. “Tiap tahun pasti ada pemain bintang baru,” kata Aldean.
Di sisi lain, Chandra mengatakan kebanyakan pemain profesional di Onic ditempa dari awal, meskipun ada yang dari transfer. Klub juga terbuka dengan kemungkinan membawa pemain dari luar negeri ke dalam atau sebaliknya. Saat ini, Onic memiliki satu pemain Malaysia yang bermain untuk tim Indonesia.
Menurut dia, pola perekrutan yang dipilih klub dipengaruhi banyak faktor. “Alasan bisa segala macam, berapa banyak modal, seberapa cepat mau jalan. Mungkin ada peran-peran tertentu yang kami perlu beli. Tergantung strategi,” ujarnya.
Sumber Dana Klub E-sports, Divisi Entertainment Berperan Besar
E-sports berkembang menjadi industri. Klub-klub e-sports bukan hanya fokus untuk memenangkan pertandingan, juga serius membangun basis fans lewat kegiatan atau konten yang dibuat divisi entertainment. Basis fans yang kuat merupakan bekal untuk bisa langgeng dalam industri ini.
Adrian mengatakan, pemain bisa datang dan pergi. Begitu juga gim kadang bisa dikuasai tim, kadang tidak. Menjaga filosofi brand dan mengelola fans akan membedakan tim untuk mampu bertahan 5-10 tahun ke depan. "Ada yang mungkin cuma tahun ini doang, karena besoknya bubar,” ujarnya.
Dengan basis fans yang kuat, pendanaan untuk klub bisa terus terjaga. Sejauh ini, sumber dana utama klub-klub e-sports profesional masih dari sponsor. Selain itu, dari hadiah yang diperoleh tim, monetisasi pemain misalnya lewat iklan atau endorsement, penjualan merchandise, dan tentunya pendanaan dari investor.
Meski begitu, Adrian mengatakan, kemenangan tetap jadi kunci utama. “DNA-nya juara. Kami percaya bahwa kalau kami juara, yang lain-lain bakal mengikuti. Entah itu job, endorsement, atau iklan-iklan, atau fans,” kata dia.
Pendapat senada disampaikan Chandra. Menurut dia, penting untuk membangun nilai-nilai bersama sehingga ada keterikatan yang kuat antara fans dan klub, seperti terjadi pada dunia sepak bola. Ini bisa dilakukan lewat konten. “Meskipun kalau punya konten tapi enggak ada prestasi, enggak akan bisa juga,” ujarnya.
Sejauh ini, Adrian mengatakan, bagi RRQ sendiri, klub mampu terus berjalan tanpa pendanaan dari investor. Namun, klub ingin memperluas sayap ke berbagai negara sehingga membutuhkan permodalan yang lebih kuat. RRQ sempat membuka pembicaraan dengan beberapa calon investor, namun tertunda karena pandemi corona.