DPR Khawatir Data Warga yang Ikut Rapid Test dan PCR Disalahgunakan

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/wsj.
Ilustrasi, sejumlah petugas kesehatan melaksanakan tes diagnostik cepat Covid-19 atau rapid test di kawasan Kayuringin, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (2/5/2020).
13/5/2020, 15.51 WIB

Pemerintah menggelar ribuan tes massal (rapid test) dan polymerase chain reaction (PCR) setiap harinya untuk menemukan kasus positif virus corona. Namun, Komisi I DPR khawatir datanya disalahgunakan.

Anggota Komisi I dari Partai NasDem Muhammad Farhan mengatakan uji Covid-19 dengan rapid test dan PCR menghasilkan data spesifik terkait kesehatan individu. Namun, menurutnya pengelolaan data dari hasil uji pandemi corona ini tak diperhatikan.

"Masalahnya tidak ada yang tahu di mana data ini (hasil rapid test dan PCR) disimpan dan yang mengelola," kata Farhan dalam Webinar terkait privasi di tengah pandemi, Rabu (13/5).

(Baca: Pemerintah Targetkan Total 400 Ribu PCR Corona Tiba di RI Besok)

Data dari hasil uji positif virus corona tersebut tak hanya dimilik pemerintah, tetapi juga swasta yang menggelar tes. Padahal, jumlah warga yang dites cukup banyak.

Di satu sisi, mereka yang ditest tak menandatangani kesepakatan khusus mengenai keamanan data hasil uji Covid-19 tersebut. Bisa saja data ini disalahgunakan atau dijual.

"Penjualan data ini pelanggaran code of conduct pengelola data. Ini pelanggaran yang sangat serius," kata Farhan. (Baca: Cara Tokopedia, Lazada, Bhinneka dan Bukalapak Cegah Kebocoran Data)

Di tengah ketidakpastian pengelolaan data saat ini, menurutnya Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) harus segera dirampungkan. Sebab, RUU PDP mengatur tentang pengelolaan data pribadi dan sanksi apabila terjadi penyalahgunaan.

Saat ini, memang ada beberapa regulasi yang mengatur keamanan data seperti Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Namun, aturan-aturan ini belum terintegrasi.

Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Sinta Dewi Rosadi mengatakan, data kesehatan tergolong sensitif yang harus mendapat perlindungan khusus. Bukan hanya swasta, pemerintah wajib menjaga data publik ini.

"Bisa timbul keresahan kalau tidak dijaga dengan baik," kata Sinta. (Baca: Mengapa E-commerce jadi Sasaran Empuk Pembobolan Data?)

Karena itu, menurutnya pemerintah dan DPR harus merampungkan RUU PDP. "Urgensi RUU PDP sangat tinggi," katanya.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan