Trump Mau Ubah Aturan Medsos, Mengapa Pendiri Facebook Kritik Twitter?

ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque/aww/cf
Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Ruang Kabinet Gedung Putih di Washington, Amerikat Serikat, Rabu (13/5/2020). Trump mengancam merubah UU Komunikasi AS yang di dalamnya memuat aturan terkait platform media sosial seperti Facebook dan Twitter.
29/5/2020, 08.36 WIB

Pendiri raksasa media sosial Facebook Mark Zuckerberg mengkritik tindakan cek fakta oleh Twitter pada cuitan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sebab, hal itu membuat Trump berencana mengamandemen aturan terkait platform media sosial.

Dalam sebuah wawancara di acara The Daily Briefing Fox News, Zuckerberg mengatakan perusahaannya memiliki kebijakan yang berbeda dengan Twitter dalam menyikapi komentar Trump. Diketahui, komentar Trump terkait kemungkinan manipulasi pemungutan suara pemilu AS 2020 tidak hanya diunggah di Twitter, tapi juga di Facebook. 

"Saya kira, kami memiliki kebijakan yang berbeda dari Twitter dalam hal ini," kata Zuckerberg dikutip dari Independent pada Kamis (28/5). 

Alasan Facebook tidak menggunakan cara yang sama dengan Twitter, menurut Zuckerberg, platform media sosial bukan penentu kebenaran. "Saya percaya dengan kuat bahwa Facebook seharusnya tidak menjadi penentu kebenaran dari semua yang dikatakan orang secara online," kata dia.

Padahal Facebook sebenarnya memiliki kebijakan untuk menghapus konten yang berisi informasi salah. Kebijakan itu juga bisa digunakan untuk menyaring informasi seputar pemilu AS 2020. Namun Zuckerberg menilai, apa yang dikatakan Trump hanya akan membawa ranah perdebatan yang kuat tentang proses pemilu. 

(Baca: Buntut Cek Fakta Twitter, Trump Lancarkan 'Perang' Kepada Media Sosial)

(Baca: Trump vs Twitter dalam Isu Manipulasi Pemilu dan Pembunuhan Politisi)

CEO Twitter Jack Dorsey menanggapi kritik Zuckerberg. Ia menganggap tindakan cek fakta di Twitter tidak akan membuat platformnya menjadi 'wasit' kebenaran.

"Tujuan kami untuk menghubungkan titik-titik pernyataan yang bertentangan dan menunjukkan informasi dalam perselisihan sehingga orang dapat menilai sendiri," kata Dorsey.

Menurutnya, Twitter bakal terus menunjukkan informasi yang salah atau disengketakan tentang pemilu secara global. "Lebih banyak transparansi dari kami sangat penting sehingga orang dapat dengan jelas melihat alasan di balik tindakan kami," katanya.

Sebelumnya, Twitter memeriksa kebenaran fakta cuitan Trump untuk pertama kalinya. Ada dua cuitan Trump yang dicek kebenarannya oleh Twitter.

Pertama terkait kemungkinan manipulasi dalam pemungutan suara 2020. Kedua terkait tuduhan pada mantan politisi Joe Scarborough atas kematian staf kongres Lori Klausutis. 

Trump memang mencuit tentang proses pemungutan suara pemilu AS pada Selasa (26/5). Trump menuduh, pemungutan suara menggunakan surat suara bisa menyebabkan manipulasi. Twitter kemudian menilai cuitan Trump itu sebagai informasi menyesatkan.

Hasil pemeriksa fakta di platform Twitter mengungkapkan bahwa tidak ada bukti dari klaim Trump itu. Twitter bahkan menambahkan tautan ke cuitan itu dengan informasi rujukan. Tautan itu membawa pengguna ke halaman terpisah yang diisi artikel informasi dan berita dari jurnalis juga pakar yang menyangkal klaim Trump.

Trump kemudian menuduh balik bahwa Twitter mencampuri urusan pemilu AS. Trump bahkan menandatangani perintah eksekutif yang mengancam hukuman terhadap perusahaan media sosial atas tuduhan bias.

"Kami di sini membela kebebasan berbicara dari salah satu bahaya terbesar," kata Trump dikutip dari Business Insider pada Kamis (28/9).

Perintah eksekutif itu memungkinkan Trump memberdayakan regulator federal dalam mengamandemen bagian 230 dari Undang-Undang Komunikasi AS. Bagian itu memang memberi perusahaan media sosial wewenang yang luas untuk memoderasi pembicaraan di platform mereka.

(Baca: Kerap Bersitegang dengan Trump Soal Virus Corona, Siapa Anthony Fauci?)

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan