Gurihnya Bisnis Cloud Kitchen di Indonesia yang Dibidik SoftBank

shutterstock
Ilustrasi, platform pesan-antar makanan
Penulis: Desy Setyowati
28/9/2020, 16.40 WIB

SoftBank Ventures Asia Korea Selatan memimpin pendanaan seri B US$ 12 Juta atau sekitar Rp 175 miliar kepada startup penyedia solusi katering Yummy Corp akhir pekan lalu. Perusahaan rintisan ini menyediakan layanan restoran berbasis komputasi awan (cloud kitchen), yang juga dirambah oleh Gojek dan Grab.

Yummy Corp mengoperasikan 70 dapur yang disebut Yummykitchen, di Jakarta, Bandung dan Medan. Layanan ini dikembangkan sejak pertengahan tahun lalu.

Yummykitchen memposisikan diri sebagai operator penuh. Tidak hanya menyewakan dapur bersama, tetapi juga mengerjakan operasional dari berbagai pemegang merek (brand).

Ada lebih dari 50 merek kuliner yang bergabung dengan Yummykitchen. Beberapa di antaranya Ismaya Group, Sour Sally Group, Padang Merdeka, Hong Tang dan Dailybox.

Marketing Director Yummy Corp Raetedy Refanatha menjelaskan, layanan yang ditawarkan meliputi peralatan, karyawan hingga memproses pemesanan dan pengiriman makanan kepada pelanggan. Selain itu, perusahaan menyediakan analisis data.

Perusahaan menggandeng Gojek dan Grab untuk layanan pesan-antar makanan. “Maka mitra brand bisa berfokus pada strategi pengembangan bisnis mereka,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (28/9).

Ia mengatakan, transaksi mitra berbeda-beda karena tergantung pada promosi dan kesadaran merek (brand awareness). Namun transaksi Yummykitchen secara keseluruhan meningkat 320% selama semester pertama.

Dikutip dari situs resminya, Yummy Corp merupakan afiliasi dari Ismaya Group. Cloud kitchen-nya tersedia juga di Singapura, Shanghai, Tiongkok dan Dubai, Uni Emirat Arab.

Yummy Corp memiliki empat layanan utama yakni manajemen fasilitas, gerai, paket acara, dan Yummy Box.

Perusahaan ini memperoleh pendanaan seri B pada pekan lalu. Selain SoftBank, Vectr Ventures Hongkong, Appworks Ventures Taiwan, Quest Ventures Singapura, Coca Cola Amatil X Australia, serta Palm Drive Capital Amerika Serikat (AS) berpartisipasi.

Intudo Ventures dan Sovereign’s Capital yang terlibat dalam pendanaan sebelumnya, juga ikut serta.

Yummy Corp juga memperoleh pendanaan seri A US$ 7,75 juta atau sekitar Rp 110 miliar pada Oktober tahun lalu. Investor yang terlibat yakni Sinarmas Digital Ventures (SMDV), East Ventures, Agaeti Ventures, Prasetia Dwidharma, dan Selera Kapital by Sour Sally Group.

Sedangkan Gojek mempunyai 27 cloud kitchen yang disebut Dapur Bersama di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Medan dan Bandung per Juli lalu. Jumlahnya ditarget mencapai 100 hingga akhir tahun.

Pesaingnya, Grab mengembangkan GrabKitchen sejak 2018. Decacorn asal Singapura ini memiliki 48 cloud kitchen di tujuh kota.

Kedua startup bervaluasi jumbo tersebut menyediakan tempat, peralatan dasar untuk memasak hingga analisis data. Mereka mengandalkan insight dari data yang dikelola guna menentukan lokasi yang banyak peminatnya.

Cara itu membuat keduanya bisa mencari tempat yang biaya sewanya murah, tetapi potensi pembelinya tinggi. Namun mereka tidak menjalankan operasional mitra penjual.

Gojek, Grab dan Yummy Corp menerapkan skema bagi hasil kepada mitra penjual.

Gojek merencanakan pengembangan cloud kitchen sejak tahun lalu. Untuk menyediakan layanan ini, perusahaan berkolaborasi dengan startup asal India, Rebel Foods.

Keduanya membentuk badan usaha baru bernama PT Rebel GoFood Indonesia. Gojek juga berinvestasi US$ 5 juta atau sekitar Rp 70 miliar di Rebel Foods pada Juli 2019 lalu.

Co-CEO Gojek Andre mengatakan, potensi untuk monetisasi dari bisnis pesan-antar makanan cukup besar. Ukuran pasarnya hampir dua kali berbagi tumpangan (ride-hailing) seperti taksi dan ojek online.

Layanan tersebut juga sudah diminati konsumen sejak tahun lalu. Oleh karena itu, perusahaan berfokus mengembangkan bisnis ini dengan menyediakan cloud kitchen.

Berdasarkan kajian internal Gojek, margin laba kotor mitra penjual (merchant) bisa mencapai 50%. Ia mengklaim, mitra dapat menghemat biaya operasional jika menggunakan layanan cloud kitchen.

“Kalau pujasera lokasinya harus strategis, jadi biayanya lebih mahal. Sedangkan Dapur Bersama, di pinggiran sedikit tidak masalah. Jadi untuk sewanya lebih murah,” ujar Andre, Juli lalu (9/7).

Dari sisi penjualan, transaksi di Dapur Bersama lebih tinggi ketimbang layanan makan di tempat selama pandemi Covid-19. “Dulu delivery hanya 20-30%. Sekarang bisa 70-80%. Jadi penjualan dengan delivery jauh lebih efisien,” kata dia.

Chief of Public Policy and Government Relations Gojek Shinto Nugroho mengatakan, transaksi mitra yang bergabung di Dapur Bersama rerata meningkat 70%.

Regional Head of GrabFood Kell Jay Lim juga sempat mengatakan, nilai penjualan bruto (gross merchandise value/GMV) bisnis pesan-antar makanan di perusahaannya tumbuh 900% secara tahunan (year on year/yoy) per Juni 2019. Sedangkan volume pengiriman tumbuh tujuh kali lipat.

Secara keseluruhan, GrabFood menyumbang sekitar 20% terhadap total GMV Grab tahun lalu. Kontribusinya naik signifikan dibanding periode sama pada 2018, yang hanya di bawah 5%.

Grab mengambil komisi 30-35% dari pelanggan individu untuk pesan-antar makanan. Nilainya lebih tinggi ketimbang pemesanan transportasi yang hanya 20%.

“Layanan pesan-antar makanan membantu mempercepat langkah Grab menuju profitabilitas,” demikian kata Lim dikutip dari Asia Nikkei Review, Februari lalu (25/2).

Khusus untuk GrabKitchen, kajian perusahaan pada tahun lalu menunjukkan bahwa layanan ini mengurangi waktu tunggu pelanggan. Mitra pengemudi juga menerima 40% lebih banyak penghasilan dari pesanan GrabFood.

Cloud Kitchen dapat menekan biaya operasional, karena sebagian besar dari kegiatan cloud kitchen merupakan layanan delivery-only. Maka, mereka tidak perlu mengeluarkan investasi besar untuk biaya sewa tempat,” kata Head of Marketing GrabFood Grab Indonesia Hadi Surya dikutip dari siaran pers, Juni lalu (12/6).

Dari sisi pembeli, layanan pesan-antar makanan juga semakin diminati saat pandemi corona. Hal ini sebagaimana Databoks di bawah ini:

“Konsumen saat lebih ini sering membeli makanan secara online. Ini artinya bisnis kuliner harus terus mempercepat digitalisasi dan memperkuat visibilitas mereka secara online,” kata Regional Head of GrabKitchen Sai Alluri dikutip dari siaran pers, beberapa waktu lalu (11/9).

Salah satu pengguna GrabKitchen yakni Dailybox. Pemiliknya yakni Kelvin Subowo menilai layanan ini menghemat biaya operasional bisnis, karena hanya menggunakan sedikit ruang dan staf.

Hal senada disampaikan oleh pemilik Amarly Food, Sumardi. “Kami bergabung sejak awal. GrabKitchen meningkatkan visibilitas sehingga penjualan bertambah dan memberikan wawasan terbaru mengenai tren makanan dan teknologi terkini,” ujar dia.

Potensi pasar layanan pesan-antar makanan juga terungkap dalam laporan Google, Temasek dan Bain. Mereka memperkirakan, transaksinya US$ 5,2 miliar pada tahun lalu dan US$ 20 miliar pada 2025.

Berdasarkan data Research and Markets, nilai bisnis layanan pesan-antar makanan secara global mencapai US$ 84,6 miliar sepanjang tahun lalu. Jumlah ini diprediksi naik menjadi US$ 164,5 miliar pada 2024.

Di Asia, data Statista menunjukkan pendapatan industri ini mencapai US$ 58,4 juta sejak awal tahun ini. Pertumbuhan rerata per tahun pendapatannya diproyeksi 10,5% sepanjang 2019-2023.

Sedangkan riset Allied Market research, pertumbuhan rerata tahunan pasar cloud kitchen di Asia Pasifik diperkirakan 14,4% sepanjang 2021-2027.

Sedangkan riset dari McKinsey pada tahun ini, penggunaan jasa pesan-antar makanan meningkat 34% selama pandemi virus corona. Sebanyak 42% konsumen di Indonesia memprioritaskan kebersihan kemasan saat membeli produk.

Dengan pertimbangan model bisnis dan besarnya pasar, bank investasi asal Tiongkok, China Renaissance menilai layanan pesan-antar makanan dan pembayaran bisa membuat Gojek dan Grab untung.

“Ketika keduanya menyatakan kepada publik bahwa pesan-antar makanan adalah kunci profitabilitas mereka, kami percaya e-wallet dapat menjadi aspek paling penting dalam mencapai keuntungan,” demikian kata China Renaissance dalam laporannya, dikutip dari Tech In Asia, akhir pekan lalu (31/7).

Kepala Ekuitas untuk ASEAN di China Renaissance Wee Leong Gan percaya, bahwa layanan berbagi tumpangan tetap menjadi pilar inti untuk Gojek dan Grab. Layanan ini merupakan infrastruktur dasar untuk bisnis lainnya di platform.

“Permintaan pesan-antar makanan yang luar biasa selama pandemi Covid-19 harus dipenuhi oleh mitra pengemudi. Sebaliknya, akan membutuhkan waktu (bagi pemain lain) untuk membangun," kata Gan kepada Tech in Asia.

Ia mencatat, layanan pesan-antar makanan melonjak lima kali lipat selama pandemi corona. Permintaan produk di restoran pun mencapai 65-75% dari kondisi sebelum pandemi.

Pendiri Ripsey, perusahaan teknologi yang berfokus menyediakan makanan sehat berbasis di India, Silky Singh sepakat bahwa bisnis cloud kitchen menguntungkan. Ini karena perusahaan dapat menjangkau lebih banyak pelanggan tanpa menyewa tempat yang besar.

Selain itu, pengelola seperti Gojek, Grab, Yummy Corp dapat mengikuti preferensi konsumen sekitar dengan cepat. Begitu minat pelanggan berubah, ketiganya dapat memberikan insight kepada merchant.

Namun tantangannya yakni mitra skala besar yang sudah dikenal, dapat mengeksploitasi pasar yang dijangkau cloud kitchen. “Peringkat memainkan peran besar dalam memengaruhi konsumen. Perusahaan yang peringkatnya buruk akan sangat menderita,” demikian dikutip dari FNBNews, akhir tahun lalu.