Pemerintah Tiongkok menerbitkan aturan antimonopoli di saat anak usaha Alibaba Group Holding, Ant Group berencana mencatatkan saham perdana atau initial public offering (IPO) di bursa Shanghai dan Hong Kong. Dengan regulasi ini, Beijing meningkatkan pengawasan terhadap raksasa teknologi.
Partner di firma hukum Han Kun, Ma Chen mengatakan bahwa otoritas khawatir perusahaan menjadi terlalu kuat, sehingga mempersulit korporasi lain berkembang. "Ini momen yang menentukan,” kata Ma dikutip dari Bloomberg, Selasa (10/11).
Sepengetahuannya, Alibaba selama ini membatasi mitra penjual atau merek (brand) menjual produk di platform lain. Badan Regulasi Pasar Tiongkok (SAMR) pun mengundang lebih dari 20 perusahaan digital, termasuk Alibaba dan Tencent pada tahun lalu.
Dalam pertemuan itu, SAMR meminta kedua raksasa teknologi itu berhenti mewajibkan penjual menandatangani perjanjian kerja sama eksklusif.
Beijing pun menerbitkan aturan antimonopoli pada Selasa (10/11) kemarin. Ini membuat harga saham Alibaba dan pengembang gim PUBG, Tencent masing-masing anjlok 5,1% dan 4,4%.
Perusahaan milik Jack Ma itu bahkan menunda rencana IPO anak usahanya, Ant Group yang seharusnya dilakukan pada pekan lalu (5/11). Penundaan ini dilakukan setelah Ma bertemu dengan People's Bank of China (PBOC) pada awal minggu lalu (1/11), terkait pengawasan sektor keuangan.
Sebenarnya Tiongkok memiliki Undang-undang (UU) Antimonopoli yang terbit pada 2007. Namun, ini berlaku bagi perusahaan asing yang mendominasi pasar.
Pada 2009, aturan itu menjerat Coca-Cola dengan denda US$ 2,3 miliar karena memblokir pembelian China Huiyuan Juice Group. Enam tahun kemudian, perancang cip (chipset) Amerika Serikat (AS) Qualcomm didenda US$ 975 juta dan dipaksa menurunkan royalti.
Kini, Beijing memperbarui aturan antimonopoli itu mengingat bisnis digital berubah dengan cepat dan sulit diukur. Regulator biasanya menggunakan indikator seperti pendapatan atau pangsa pasar untuk menentukan apakah suatu perusahaan melakukan monopoli atau tidak pada perusahaan konvensional.
Indikator itu tidak berlaku bagi perusahaan digital. Sebab, mereka mengontrol informasi berharga atau data yang belum dimonetisasi.
Di satu sisi, kapitalisasi pasar gabungan perusahaan digital di Tiongkok hampir US$ 2 triliun atau sekitar Rp 28.126 triliun. Khusus untuk Alibaba dan Tencent bahkan melampaui bank milik negara, seperti Bank of China.
Berdasarkan data Statista pada 2019, Tmall milik Alibaba menguasai pangsa pasar 50,1% penjualan e-commerce Tiongkok. Perusahaan yang berdiri pada 1999 ini awalnya hanya e-commerce. Kini bisnisnya menggurita ke banyak sektor seperti keuangan, media digital hingga komputasi awan (cloud).
Alibaba mencatatkan pertumbuhan pendapatan 34% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 53,75 miliar yuan (setara Rp 325 triliun) pada kuartal II 2020. Salah satu lini bisnis yang pertumbuhan pendapatannya tertinggi yakni cloud 59%.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) yang disesuaikan tumbuh 30% yoy untuk kuartal yang berakhir 30 Juni 2020. Jumlah konsumen aktif tahunan di negaranya 742 juta.
Sedangkan pendapatan pengembang PUBG dan aplikasi WeChat, Tencent tumbuh 26% yoy menjadi 108,1 miliar yuan atau sekitar Rp 226,5 triliun pada kuartal I. Lini bisnis game online menyumbang 37,3 miliar yuan atau sekitar Rp 78,4 triliun.
Pendapatan dari divisi gim tersebut meningkat 31% yoy. Peningkatan terjadi, karena penggunaan (usecase) dan jumlah pengguna game online yang dikembangkan Tencent melonjak imbas pandemi corona.