Arah Startup Pendidikan Saat Sekolah Dibuka Kembali

123rf.com
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
10/12/2020, 18.30 WIB

Pemerintah memutuskan bahwa pembelajaran tatap muka di sekolah ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah (pemda) mulai tahun depan. Investor memperkirakan bahwa layanan startup pendidikan (edtech) tetap diminati, sekalipun pandemi corona usai.

Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain and Company, aplikasi pendidikan di Asia Tenggara diunduh 20 juta kali sepanjang Januari-Agustus. Jumlahnya naik tiga kali lipat dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya enam juta.

Di Indonesia, Zenius mencatat bahwa jumlah pengguna meningkat 12 kali lipat secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 15,7 juta lebih per kuartal II. Sedangkan Ruangguru memiliki lebih dari 17 juta pengguna terdaftar atau naik dua juta lebih sejak awal tahun. Lalu, AyoBlajar menjangkau 13 ribu pelajar dan 23 sekolah.

Lonjakan penggunaan terjadi karena pemerintah mengimbau pelajar belajar dari rumah guna menekan angka penularan virus corona. Namun, siswa berpotensi belajar tatap muka di sekolah pada tahun depan, karena keputusan ditetapkan oleh pemda.

Meski begitu, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) memprediksi bahwa startup sektor ini tetap diminati oleh investor. “Ada beberapa macam edtech di Indonesia. Jadi semestinya tetap ada peningkatan,” kata Sekretaris Jenderal Amvesindo sekaligus CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro kepada Katadata.co.id, Kamis (10/12).

Berdasarkan laporan Bank Dunia bertajuk ‘Edtech in Indonesia, Ready for Take Off?’ pada Mei lalu, layanan pendidikan digital setidaknya terbagi menjadi 17 kategori. Rincian berikut pelaku usahanya dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Lanskap layanan pendidikan digital di Indonesia (Bank Dunia, 2020)

“Mereka mencari konsumen sebanyak-banyaknya terlebih dulu, baru memikirkan monetisasi,” kata Eddi. “Monetisasi itu bisa melalui cross selling, periklanan, data, dan lainnya.”

Berdasarkan survei Bank Dunia terhadap 35 startup pendidikan di Nusantara, sebagian besar dari mereka menawarkan lebih dari satu produk atau layanan. Sebanyak 30% menyediakan produk administrasi dan manajemen untuk guru dan institusi. Lalu, 27% kursus pembelajaran online dan 25% pengembangan karier.

“Mayoritas perusahaan edtech di Indonesia menawarkan produk dan layanan yang luas daripada sedikit namun mendalam seperti hanya berfokus pada matematika, IPA, dan lainnya,” demikian tertulis pada laporan Bank Dunia, Mei lalu.

Selain itu, sekitar 60% di antaranya menerapkan tiga model operasi bisnis yakni business to business (B2B), business to customer (B2C), dan business to business to customer (B2B2C). Rerata mengadopsi B2B.

Namun, hanya segelintir perusahaan rintisan edtech yang melibatkan pemerintah dalam model operasi bisnis. Bank Dunia menduga ini karena lama dan panjangnya proses birokrasi.

Pelaku usaha yang diwawancarai mengatakan, biaya akuisisi pelanggan alias Customer Acquisition Cost (CAC) merupakan pertimbangan utama saat memutuskan untuk menerapkan banyak model bisnis atau hybrid. Untuk B2B, biayanya tetap.

Sedangkan B2C, perusahaan membutuhkan biaya besar untuk menggaet konsumen individu. Mayoritas dari responden menyatakan bahwa ini terjadi karena rendahnya literasi digital masyarakat.

Sekitar 90% responden pun mengubah model bisnis setelah mengidentifikasi celah baru di sektor ini. “Itu untuk mencapai efisiensi biaya yang lebih besar,” demikian tertulis. “Perubahan ini bukan hanya karena permintaan pasar, tetapi juga strategi akuisisi pelanggan atau untuk meningkatkan ekonomi unit sebagai persyaratan dari investor.”

Bank Dunia menilai, penerapan B2B atau B2B2BC lebih masuk akal secara bisnis, baik dari sisi dampak maupun potensi jangkauan. Pergeseran dari B2C ke B2B pun diprediksi masif ke depan.

Apalagi, 62% dari responden menawarkan produk secara gratis untuk periode tertentu untuk menggaet lebih banyak konsumen dan memperluas cakupan layanan. Praktik ini dinilai merugikan perusahaan, karena Bank Dunia mencatat kurang dari 5% pengguna yang mau membayar layanan setelah masa uji coba gratis.

Hanya 43% pengguna layanan pendidikan digital di Indonesia yang berlangganan (Bank Dunia, 2020)

Namun, 89% atau 22 dari 35 startup edtceh yang disurvei mengklaim sudah meraup pendapatan. Meskipun, hanya 27% di antaranya yang untung. “Ada korelasi yang cukup positif antara tahun operasi perusahaan dengan profitabilitas,” demikian tertulis.

Meski begitu, Chief Investment Strategist Temasek Rohit Sipahimalani memperkirakan bahwa investor akan berfokus pada startup sektor edtech, kesehatan (healthtech), dan teknologi finansial (fintech). “HealthTech dan EdTech  memainkan peran penting selama pandemi Covid-19, dengan tingkat adopsi yang sesuai,” kata dia saat konferensi pers virtual terkait ‘e-Conomy SEA 2020’, November lalu (24/11).

Ia menyebutkan, pendanaan ke startup pendidikan regional US$ 270 juta pada tahun lalu. Jumlahnya naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan 2018 US$ 80 juta.

Pendanaan ke startup pendidikan Asia Tenggara (e-Conomy SEA 2020)

Temasek pun mengalihkan perhatiannya ke startup edtech dan healthtech karena tingkat adopsi layanan yang tinggi saat pandemi Covid-19. Saat ini, perusahaan sedang berdiskusi untuk berinvestasi ke perusahaan rintisan di kedua sektor ini.

Namun, Rohit enggan mengungkapkan startup yang dimaksud. "Kami memperkirakan perusahaan multi-miliar dolar muncul dari sektor ini selama beberapa tahun ke depan," kata Rohit dikutip dari Business Times, November lalu (12/11).

Tantangan Startup Pendidikan

Meski peluangnya besar, Rohit melihat bahwa perusahaan rintisan di Asia Tenggara, termasuk sektor edtech, menghadapi tantangan dari sisi talenta digital. “Perlu ada pelatihan ulang dan peningkatan kapasitas agar benar-benar dapat memenuhi potensi penuh ekonomi digital," katanya.

McKinsey and Company memperkirakan, ahli teknologi di Indonesia hanya 104 juta pada 2030. Sedangkan butuh 113 juta untuk mengimbangi pesatnya pertumbuhan industri ini.

Oleh karena itu, ada kekurangan sembilan juta talenta digital hingga 2030 atau 600 ribu per tahun.

Selain itu, startup pendidikan bersaing dengan raksasa teknologi global seperti Google dan Zoom. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menilai bahwa penyedia aplikasi konferensi video seperti Zoom dan Google Meet lebih diuntungkan selama pandemi corona.

Berdasarkan survei DailySocial dan JakPat, Zoom dan Google Meet lebih banyak digunakan ketimbang Ruangguru. Angkanya tertera pada Databoks berikut:

Tech In Asia melaporkan, startup pendidikan Indonesia menghadapi tiga masalah utama. Pertama, kesediaan atau kemampuan pelanggan membayar layanan terbatas. Kedua, infrastruktur digital tidak memadai di beberapa daerah. Terakhir, minim talenta digital yang relevan.

“Indonesia tertinggal jauh dibandingkan India dan Tiongkok terkait kesediaan membayar,” demikian kata investor modal ventura dikutip dari Tech In Asia, Oktober lalu (2/10).

Terkait tantangan infrastruktur digital, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, ada 12.548 desa yang belum terakses internet generasi keempat (4G).

Akses internet pun menjadi salah satu kendala siswa belajar di rumah saat pandemi, sebagaimana Databoks berikut:

Sedangkan Bank Dunia membagi tantangan startup edtech di Indonesia dari dua sisi. Dari sisi permintaan ada empat hambatan yakni masyarakat menolak digitalisasi pendidikan, kesediaan yang rendah untuk membayar, kurangnya literasi digital;  dan minimnya infrastruktur.

Kemudian, dari sisi regulasi, insentif dari pemerintah agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bermitra dengan swasta terbatas. “Kurangnya kejelasan tentang peran dan tujuan tata kelola tampaknya menghambat perluasan sektor edtech, karena tingkat dukungan pemerintah yang rendah, baik dari segi pendanaan maupun akuntabilitas,” demikian tertulis dari laporan Bank Dunia.

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan