Di Balik Panen Pendanaan Enam Startup Kuliner saat Pandemi

123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
11/12/2020, 18.40 WIB
  • Pendanaan ke startup kuliner US$ 128 juta pada tahun ini, salah satunya milik putra Presiden Jokowi
  • Efek domino bisnis Gojek dan Grab, startup kuliner dilirik investor
  • Startup kuliner menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya talenta.

Pandemi corona dan sejumlah tantangan di sektor kuliner tak menghentikan minat para investor untuk menanamkan modal di startup makanan dan minuman Indonesia. Setidaknya ada enam perusahaan rintisan di bidang ini yang memperoleh pendanaan total US$ 128 juta lebih atau sekitar Rp 1,8 triliun.

Keenam perusahaan rintisan tersebut yakni Hangry US$ 3 juta, Kopi Kenangan US$ 109 juta, YummyCorp US$ 12 juta, Mangkokku dan Haus! masing-masing US$ 2 juta, serta Greenly yang tidak disebutkan nilainya. Angkanya naik dibandingkan tahun lalu, total US$ 72,75 juta atau sekitar Rp 1 triliun dari lima kesepakatan.

Startup kuliner tetap dilirik oleh investor meski menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya terkait hak kekayaan intelektual (HKI). Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, baru 11,05% dari 8,2 juta pelaku usaha di sektor ekonomi kreatif (ekraf) yang mendaftarkan HKI.

Pada subsektor kuliner, baru 19,75% yang mendaftarkan HKI. Padahal, “ini fundamental. Aset utama ekraf yakni kekayaan intelektual. Ini justru menjadi potensi monetisasi dan pertimbangan bagi investor dalam berinvestasi,” kata Deputi Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekraf (Kemenparekraf) Fadjar Hutomo kepada Katadata.co.id, Jumat (11/12).

HKI melindungi produk agar tidak ditiru. Selain itu, dapat digunakan sebagai alat produksi dan iklan, serta membangun reputasi.

Namun, Fadjar menilai bahwa tantangan utama pemain sektor kuliner yakni sumber daya manusia (SDM) dan kemampuan mengelola usaha. “Kenyataannya, ini proses yang berkelanjutan dan dinamis,” ujar dia.

goola (Instagram @goola.id)

Hal senada disampaikan oleh VP of Investment & Business Development BRI Ventures, Markus Liman Rahardja. Utamanya, Markus menyoroti pengelolaan perusahaan ketika skala bisnis meningkat.

“Industri berkaitan dengan rasa. Jadi, bagaimana menjaga konsistensi ketika skala bisnis naik. Mengelola lima toko dengan 20 itu berbeda. Begitu juga dengan 300 gerai. Ini butuh kapabilitas dan keunikan,” kata Markus saat konferensi pers virtual terkait pengumuman pendanaan BRI Ventures terhadap Haus!, Jumat (11/12).

BRI Ventures melalui Dana Ventura Sembrani Nusantara memang berinvestasi US$ 2 juta atau sekitar Rp 30 miliar kepada Haus! pada pekan lalu (2/12). Haus bahkan menjadi startup pertama yang disuntik modal oleh perusahaan pengumpul dana itu.

Perusahaan minuman kekinian Haus! Indonesia memaparkan rencana ekspansi usai mendapat pendanaan dari BRI Venture Capital. (Haus.Indonesia / Instagram)

Markus menilai, investor tertarik pada startup makanan dan minuman yang menyediakan produk yang disukai oleh lidah masyarakat. “Kami mulai (identifikasi) dari sini,” kata dia. “Kami lihat keunikan produk dan kualitas. Apakah ini dibutuhkan oleh konsumen?”

Untuk mengetahui hal itu, BRI Ventures menggunakan metode mystery shopping. Perusahaan mengirim pegawai untuk mengukur kualitas layanan dan produk.

Selain itu, tiga indikator lain yang dikaji. Pertama, kapasitas para pendiri (founder) dan cara mengelola keuangan. Kedua, market yang dibidik. Terakhir, prospek peningkatan skala bisnis.

Tinjauan itu dibutuhkan untuk mengukur daya tahan dan prospek pertumbuhan berkelanjutan dari perusahaan rintisan. Apalagi, kuliner merupakan salah satu sektor yang terkena dampak pandemi Covid-19.

Dari sisi pelaku usaha, CEO Haus! Indonesia Gufron Syarif menyampaikan bahwa SDM merupakan tantangan utama. Oleh karena itu, “kami mengembangkan sistem, standar operasional prosedur (SOP), dan pengawasan. Kami belum berfokus ekspansi ke daerah lain pun karena ingin membenahi ini, dengan mencari talenta profesional,” kata dia.

Sedangkan dari sisi pemasaran, Haus! berfokus pada inovasi produk dan menyasar komunitas mode hingga musik. Dengan cara ini, penjualan bisa mencapai Rp 5 juta hingga Rp 7 juta per kios.

“Belanja modal atau capex Rp 420 juta untuk membangun satu gerai itu bisa ditutup dalam setahun. Jadi, cukup cepat untuk mencapai titik impas atau break even point (BEP),” ujar Gufron.

Besaran belanja modal itu mencakup keperluan renovasi, peralatan dapur dan  furnitur. Biaya selain sewa tempat bisa mencapai Rp 100 juta.

Potensi Bisnis Startup Kuliner

Kecepatan mencapai titik impas itu menjadi salah satu keunggulan Haus! Indonesia di mata investor. Selain beragam pertimbangan dari sisi perusahaan, Markus menilai bahwa sektor kuliner semakin potensial.

Pertama, layanan pesan-antar makanan memang meningkat selama penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat pandemi Covid-19. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Kedua, sektor kuliner memperoleh efek domino dari perkembangan bisnsi berbagi tumpangan (ride hailing) seperti Gojek dan Grab. “Selanjutnya konten yang dikirim itu yang potensial, yakni makanan dan minuman,” kata Markus.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Investasi BRI Ventures William Gozali. “Pelaku usaha kini dibekali wawasan atau insight terkait kuliner apa yang diminati oleh warga di wilayah tertentu. Ini permainan big data,” ujarnya dalam acara media gathering virtual Asosiasi Modal Ventura untuk Startup lndonesia (Amvesindo) bertajuk ‘Mengupas Dinamika dan Tren Pendanaan Startup 2020-2021’, November lalu (2/11).

Perusahaan penyedia layanan on-demand seperti Gojek dan Grab memang menyediakan big data dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk menghasilkan insights seputar minat kuliner di suatu wilayah. Data agregat ini kemudian disampaikan kepada mitra penjual (merchant) untuk menjadi acuan dalam berjualan.

yummybox yummy corp (instagram/@eatyummybox)

William juga mengungkapkan bahwa salah satu kategori startup kuliner yang diminati yakni restoran berbasis komputasi awan (cloud kitchen). Gojek merambah sektor ini melalui Dapur Bersama, sementara Grab lewat GrabKitchen. Pemain lainnya yakni YummyCorp.

“Kami melihat food tech pada periode awal pertumbuhan. Bagaimana menggaet pasar? Kami masih menunggu dan melihat. Tetapi, permintaan memang meningkat,” ujar William.

Di Indonesia, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih rinci, konsumsi terbesar masyarakat yakni makanan dan minuman, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini:

Seiring dengan data tersebut, subsektor kuliner pun berkontribusi paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB) ekraf. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Dengan potensi tersebut, startup kuliner pun dilirik oleh investor sejak tahun lalu. Bahkan, perusahaan rintisan yang meraih pendanaan semakin beragam pada 2020.

Fore Coffee (Fore Coffee)

Pada tahun lalu, startup yang memperoleh investasi didominasi kopi yakni Fore Coffee dan Kopi Kenangan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:

StartupPendanaan
2019
Fore CoffeeUS$ 30 juta dan US$ 10 juta
Kopi KenanganUS$ 20 juta
Yummy CorpUS$ 7,75 juta
GoolaUS$ 5 juta
TotalUS$ 72,75 juta
2020
GreenlyTidak disebutkan
HangryUS$ 3 juta
Kopi KenanganUS$ 109 juta
YummyCorpUS$ 12 juta
MangkokkuUS$ 2 juta
Haus!US$ 2 juta
TotalUS$ 128 juta

Sumber: Data diolah

Meski begitu, Sekretaris Jenderal Amvesindo sekaligus CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro melihat persaingan di sektor ini cukup ketat.  “Kuncinya yakni memberikan nilai tambah dan menjadikan konsumen loyal. Tidak bisa hanya mengandalkan harga,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (10/12).

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan