Prospek Startup Gaet Suntikan Modal dari Momen Vaksin dan Omnibus Law

Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Nilai tukar rupiah dan dolar
19/1/2021, 15.42 WIB

Beberapa studi memperkirakan pendanaan ke startup bakal menurun selama pandemi corona. Namun, pendistribusian vaksin virus corona hingga Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja dinilai dapat mendongkrak investasi ke perusahaan rintisan Indonesia pada 2021.

NextLevel Leader PwC Indonesia Radju Munusamy menilai, investor akan mengkaji isu pada tahun lalu, termasuk Omnibus Law yang dinilai mempermudah startup mengembangkan bisnis. “Di saat yang sama, startup membutuhkan pendanaan untuk scale up," ujarnya dalam acara PwC NextLevel - 2021 Outlook: Start-ups, Investments, and Corporate Collaborations, Selasa (19/1).

Omnibus Law Cipta Kerja memang memuat aturan mengenai perusahaan rintisan, salah satunya terkait perekrutan tenaga kerja asing. Pada Pasal 42 ayat 1, menjadi berbunyi, “setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan dari pemerintah pusat."

Sebelumnya, perusahaan harus memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Kemudian pada ayat 3 disebutkan, pemerintah menambahkan pihak yang bebas dari persyaratan sebagaimana tercantum di ayat 1. Sebelumnya, ini hanya berlaku bagi perwakilan negara asing yang menggunakan pekerja dari luar negeri sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.

Selain Omnibus Law, investor mengkaji tren konsolidasi hingga penawaran saham perdana alas IPO oleh startup. Pada tahun ini, penanam modal bakal mempertimbangkan pendistribusian vaksin virus corona.

Pada 3 dan 4 Januari lalu terdapat 714.240 vial vaksin Covid-19 merek Sinovac yang didistribusikan ke-32 provinsi di Indonesia. Sedangkan dua provinsi lainnya yakni Sulawesi Barat pada 5 Januari dan Jawa Barat pada 6 Januari. 
 
"Tren ini akan berdampak positif. Startup dapat memulai kembali (bisnisnya) untuk tumbuh," kata Radju.

Meski begitu, investor akan tetap menganalisis startup yang dinilai potensial. Partner di East Ventures Melisa Irene menetapkan sejumlah kriteria perusahaan rintisan yang bakal diberikan pendanaan pada tahun ini.

"Startup harus bisa menjalankan manajemen risiko selama pandemi dan berinovasi untuk bertahan," kata Melisa.

Sebelumnya, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan, sebenarnya minat investor untuk berinvestasi di perusahaan rintisan tetap tinggi meski ada pandemi corona. Modal tersedia atau dry powder pun melimpah. “Namun harus mencari sektor yang relatif tangguh dalam situasi ini maupun tidak,” kata dia kepada Katadata.co.id, bulan lalu (7/12/2020).

Selain itu, investor mulai berfokus menanamkan modal pada startup yang memiliki jalur jelas untuk untung. “Investor juga banyak yang beralih ke later stage, karena mencari bisnis yang lebih stabil atau less risky alias sudah sudah teruji,” ujar dia.

Later stage adalah putaran pendanaan tingkat lanjutan seperti seri B ke atas. Pada tahapan ini, biasanya produk startup sudah diterima oleh pasar.

Hal senada tertuang dalam laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2020’. Studi ini menunjukkan bahwa 'dry powder’ di Asia Tenggara, termasuk private equity dan modal ventura, mencapai US$ 11,9 miliar pada 2019.

Google, Temasek, dan Bain and Company mencatat, investor masih memiliki modal yang cukup untuk berinvestasi. Namun, “sebagian besar mengadopsi pendekatan menunggu dan melihat alias wait and see,” demikian dikutip dari laporan tersebut.

Chief Investment Strategist Temasek Rohit Sipahimalani mengatakan, kehati-hatian investor bukan hanya pada startup di regional, tetapi global. Akan tetapi, “mereka akan terus agresif berinvestasi pada perusahaan dengan model bisnis dan jalur pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujar Rohit dalam acara pemaparan ‘e-Conomy 2020’ secara virtual, November tahun lalu (24/11).

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan