Pemda Perlu Bereskan Tiga PR agar Dilirik Investor dan Startup Digital

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Pengunjung melihat alat teknologi robot pada Pameran Inovator Inovasi Indonesia Expo (I3E) 2019 di Jakarta Convention Center, Kamis (3/10/2019).
Penulis: Desy Setyowati
15/3/2021, 13.03 WIB

Google, Temasek, dan Bain & Company memperkirakan nilai transaksi atau gross merchandise value (GMV) ekonomi digital Indonesia US$ 44 miliar atau Rp 619 triliun pada 2020. Namun, setidaknya ada tiga pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah daerah (pemda) untuk memaksimalkan potensi ini.

Pertama, membuka akses bagi investor hingga startup. “Jadi investor hingga pekerja digital bisa datang ke sana untuk membuka lowongan pekerjaan, kantor, dan lainnya,” kata Co-Founder sekaligus Managing Partner East Ventures Willson Cuaca saat konferensi pers virtual bertajuk ‘Peluncuran East Ventures Digital Competitive Index 2021’, Senin (15/3).

Kedua, memahami keunikan daerah masing-masing. “Apakah di pariwisata, kerajinan tangan, sumber daya alam (SDA), atau lainnya,” ujar Willson.

Ia mencontohkan Kepulauan Riau yang dekat dengan Singapura. Pemerintah bekerja sama dengan Negeri Jiran ini untuk membangun Nongsa Digital Park di Batam pada 2019.

Berdasarkan East Ventures Digital Competitive Index (EV-DCI) 2021, skor daya saing digital di Kepulauan Riau meningkat tiga poin menjadi 43. Provinsi ini pun menempati peringkat ketujuh.

Peningkatan itu ditopang oleh skor kewirausahaan dan produktivitas, serta sumber daya manusia (SDM). Begitu juga dengan skor penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Lalu, Willson mencontohkan Bali yang menggeser Banten, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah ke posisi ketiga. Ini karena rasio desa yang mendapatkan sinyal 3G dan 4G meningkat.

Hal itu membuat skor kewirausahaan dan produktivitas, serta SDM di Bali melonjak. “Bali concern pada digital nomad,” ujar Willson. Digital nomad yakni seseorang yang dapat bekerja dari jarak jauh dan berpindah-pindah tempat. Umumnya pekerja lepas.

“Dengan dua hal ini (pemahaman keunikan dan akses), otomatis akan ada lebih banyak aktivitas ekonomi yang masuk,” katanya. Terakhir, mendorong peningkatan kemampuan SDM secara merata.

Meski ketiga hal itu diselesaikan oleh pemda, bukan berarti startup terpaku pada layanan yang bersifat lokal. Ia menilai bahwa perusahaan rintisan akan tetap terkonsentrasi di kota besar.

“Namun, bisa membuka cabang di wilayah yang menurut mereka adopsi digitalnya tinggi,” kata Willson. Dengan begitu, masyarakat umum dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bisa merasakan manfaat dari perkembangan ekonomi digital.

Apalagi, Google, Temasek, dan Bain & Company memperkirakan GMV ekonomi digital Tanah Air US$ 124 miliar pada 2025. Rinciannya tertera pada Databoks di bawah ini:

Pendanaan ke startup Indonesia juga terus meningkat. Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan bahwa investasi ke perusahaan rintisan Tanah Air US$ 2,8 miliar pada semester I 2020.

Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pendanaan perusahaan modal ventura Indonesia ke startup naik 5,69% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 13,44 triliun pada tahun lalu.

Namun, data Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) pada medio 2019 menunjukan, 52,7% startup berbasis di Jabodetabek. Sebanyak 168 tersebar di Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.

Reporter: Desy Setyowati