Komisaris BEI: Tiga Startup Jumbo Bersiap IPO pada Semester II

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Karyawan memotret layar Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (5/8).
25/3/2021, 13.34 WIB

Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Sjahrir menyampaikan ada tiga startup jumbo yang bersiap mencatatkan saham perdana alias IPO. Ketiganya bakal melantai pada semester II 2021.

"Ada tiga nama yang sudah daftar, dan bersiap melantai di bursa pada semester kedua tahun ini," kata Pandu dalam acara Grab Business Forum 2021, Kamis (25/3).

Jika itu terjadi, akan menjadi pertama kalinya konglomerasi perusahaan teknologi melantai di bursa Tanah Air. “Kami menjadi belajar, seperti menghitung nilai valuasi dan lainnya," ujarnya. 

Indonesia memiliki startup dengan valuasi US$ 10 miliar lebih atau decacorn, yakni Gojek. Selain itu, ada empat unicorn yakni yang memiliki valuasi di atas US$ 1 miliar yaitu Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan OVO.

Pandu mengatakan, BEI terus melakukan pendekatan dan berkoordinasi dengan para unicorn dan decacorn. Ini karena IPO startup jumbo menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas bursa.

BEI mempelajari metode atau kendaraan bagi unicorn untuk IPO. Apalagi, beberapa startup jumbo seperti Traveloka dan Tokopedia, mempertimbangkan IPO lewat perusahaan cek kosong atau SPAC.

Dari hasil kajian selama ini, BEI pun menyiapkan perubahan peraturan pencatatan nomor I-A. Nantinya, ada beberapa alternatif persyaratan pencatatan saham, sehingga dapat mengakomodasi berbagai karakteristik perusahaan, termasuk startup.

Otoritas bursa sudah mendiskusikan rancangan peraturan tersebut dengan para stakeholder, termasuk pendiri startup dan modal ventura, pada akhir tahun lalu.

Kendati menjadi tantangan bagi otoritas, Pandu optimistis bahwa investor antusias menyambut masuknya startup jumbo di bursa saham. "Antusiasmenya luar biasa," kata Pandu. "Ini semacam memberi kepastian kepada masyarakat luas."

Menurutnya, valuasi startup jumbo bisa mengalahkan raksasa telekomunikasi apabila digabungkan. Ini selaras dengan riset CLSA yang memproyeksikan valuasi gabungan Gojek dan Tokopedia US$ 35 miliar – US$ 40 miliar (Rp 504 triliun – Rp 576 triliun).

Jika proyeksi itu benar, maka nilainya melebihi Telkom Rp 329 triliun dan Bank Mandiri Rp 302 triliun. Namun, di bawah BCA sekitar Rp 838 triliun dan BRI Rp 585 triliun.

"Akan ada banyak investor ritel yang mendanai unicorn atau decacorn itu," ujar Pandu, yang juga menjabat Presiden Komisaris SEA Group Indonesia.

Apalagi, jumlah investor ritel terus bertambah saat pandemi corona. "Tiap hari ada 10 ribu orang masuk menjadi investor baru di bursa. Sebanyak 70% di antaranya 28 tahun. Komposisi investor ritel juga terbesar saat ini," ujarnya.

Pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan Jidobox, Masana Takahashi mengatakan bahwa kalangan investor ritel menanti IPO startup jumbo. "Mereka tahu Indonesia memiliki populasi yang besar dan ekonomi yang berkembang. Ini membuat mereka tertarik untuk membeli saham teknologi," katanya dikutip dari KrAsia, tiga pekan lalu (2/3).

Sedangkan investor institusional cenderung kurang tertarik berinvestasi di perusahaan teknologi yang sudah IPO. "Mereka akan membangun portofolio untuk melindungi nilai risiko, sehingga mereka akan memilih perusahaan yang memainkan peran penting dalam perekonomian negaranya," ujarnya.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan