Jalan membangun perusahaan startup tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun perusahaan sudah dikenal dan banyak digunakan masyarakat, nyatanya belum cukup menjamin kondisi keuangan perusahaan tetap kokoh. Hal serupa juga diakui CEO Gojek Kevin Aluwi yang nyaris bangkrut berkali-kali.
Dia mengatakan, Gojek pernah mengalami masa sulit pada 2015-2016 dan hampir bangkrut. Namun, berbagai upaya dilakukan Gojek hingga saat ini menjadi perusahaan yang memiliki valuasi di atas US$ 10 miliar (Rp 144 triliun) atau decacorn. Kevin mengatakan, meskipun pada 2015-2016 layanan Gojek banyak digunakan oleh masyarakat, namun saat itu perusahaan mengalami kesulitan keuangan.
"Meski perkembangan Gojek pesat, tapi itu masa di mana beberapa kali kami hampir bangkrut," ujar Kevin dalam Talkshow bertajuk "StartUp Building Experience From The Founder", Jumat (16/7).
Kevin mengaku, saat itu Gojek kehabisan uang untuk menjalankan usahanya. Sedangkan, pendanaan sulit didapatkan. Di sisi lain, Gojek juga sudah mempunyai ratusan karyawan saat itu. "Kami punya tanggung jawab ke karyawan," ujarnya.
Perusahaan kemudian mencari cara agar masalah keuangan bisa diselesaikan. Kevin pun mengaku, saat itu nasib Gojek diselamatkan oleh investor yang mempercayai model bisnisnya.
Hingga kini, Gojek menjadi decacorn. Setelah merger dengan perusahaan e-commerce Tokopedia, Gojek membentuk entitas baru bernama GoTo.
Berdasarkan data CB Insight, GoTo mempunyai potensi untuk meraih valuasi sekitar US$ 40 miliar. Perhitungannya, valuasi masing-masing perusahaan sebelum merger ini bernilai US$ 10 miliar. Setelah merger, perusahaan menargetkan meningkatkan valuasi lebih tinggi.
Gojek pun kini hadir tidak hanya di Indonesia, tapi sudah berekspansi ke beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Pekan lalu, Gojek telah mengumumkan secara resmi melepas bisnis dan operasionalnya di Thailand kepada AirAsia Digital. Meski begitu, decacorn di bawah naungan GoTo ini akan fokus mengembangkan pasar internasionalnya melalui SuperApp AirAsia dan fokus memperkuat bisnisnya di Singapura dan Vietnam.
Direktur Digital Business Telkom yang juga mantan pendiri perusahaan e-commerce Bukalapak, M. Fajrin Rasyid mengatakan, peluang keberhasilan startup memang kecil. Menurut dia, mendirikan startup bukanlah hal yang mudah karena memiliki risiko tinggi, namun tinggi juga keuntungannya.
Dia menambahkan, ada banyak tantangan untuk startup bisa sampai tahap dinyatakan berhasil. Salah satu tantangan konsistensi inovasi dan pemecahan masalah. Selain itu, ada juga tantangan dalam membentuk tim.
"Ini tidak mudah. Saya banyak menemukan cerita pendiri startup yang kurang berhasil karena tidak kapabel dalam membuat tim," ujar Fajrin.
Diketahui, pesatnya perkembangan internet membuat sejumlah startup teknologi muncul sebagai unicorn, decacorn atau bahkan raksasa internet, seperti Facebook Inc, Alibaba, hingga Grab dan Gojek. Mereka sukses menggalang pendanaan dari pasar modal maupun dari para investor privat.
Namun, tak sedikit pula perusahaan rintisan yang semula berprospek kemudian bangkrut karena kasus penipuan (fraud), salah strategi, atau salah kelola (mismanajemen).
Di Amerika Serikat (AS) misalnya ada startup produsen panel atap surya Solyndra. Startup itu bangkrut pada 2011 dan menghentikan segala aktivitas produksi. Startup juga memberhentikan 1.100 karyawan, dan mengajukan pailit.
Ada juga startup transportasi Arrivo yang bangkrut pada 2018 karena tak mampu mendapatkan pendanaan seri A. Pendanaan itu yang dipersyaratkan oleh calon kreditornya.
Di Indonesia, selama pandemi beberapa startup juga menghentikan layanannya, seperti Sorabel, Eatsy, Stoqo, Hooq, dan Airy Rooms. Selain itu, perusahaan sejenis Hooq yakni iFlix mengalami kesulitan dari sisi keuangan di tengah pandemi Covid-19.