8 Firma Hukum di AS Berencana Selidiki Grab karena Harga Saham Anjlok
Grab yang terdaftar di Nasdaq berpotensi menghadapi gugatan class action. Ini terjadi setelah harga saham decacorn itu anjlok pasca-pengumuman laporan keuangan 2021.
Harga saham Grab melorot sekitar 37% pekan lalu (3/1). Harganya ditutup US$ 3,36 pada Senin (7/3), jauh di bawah Desember 2021 US$ 13,06 per lembar.
Itu terjadi setelah pesaing Gojek ini mengumumkan kerugian kuartal IV 2021 US$ 1,1 miliar atau setara Rp 15,8 triliun. Sepanjang tahun lalu, decacorn asal Singapura itu merugi US$ 3,6 miliar atau setara Rp 51,8 triliun.
Setidaknya ada delapan firma hukum yang mengumumkan niat untuk menyelidiki Grab mengenai hal-hal seperti pernyataan palsu dan menyesatkan, kemungkinan penipuan, dan pelanggaran lain terkait undang-undang sekuritas federal Amerika Serikat (AS).
Katadata.co.id sudah mengonfirmasi kabar tersebut kepada Grab. Namun belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.
Gugatan class action adalah cara bagi sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat. Persyaratan umumnya yakni mencakup banyak orang, serta perwakilan harus jujur dan adequate atau layak.
Direktur Pusat Tata Kelola dan Keberlanjutan di National University of Singapore Business School Profesor Lawrence Loh mencatat, perusahaan yang terdaftar di AS sering menghadapi gugatan class action dalam berbagai hal, termasuk kemungkinan pelanggaran undang-undang sekuritas.
"Dalam beberapa tahun terakhir, ada, khususnya, gugatan class action terhadap penerbit non-AS, terutama asal Cina,” kata Profesor Lawrence Loh dikutip dari Strait Times, Rabu (9/3).
“Tren gugatan class action terutama didorong oleh diperbolehkannya pengaturan biaya kontinjensi, yakni pengacara menerima pra-perjanjian persen dari ganti rugi yang diberikan,” tambah dia.
Selain itu, ada banyak firma hukum yang mengkhususkan diri dalam gugatan class action untuk undang-undang sekuritas. “Mereka secara aktif memantau kerugian saham yang tidak biasa dan mencari pemegang saham yang mengalami kerugian signifikan untuk memimpin gugatan,” ujar dia.
Terkait tuntutan hukum penurunan saham, pengacara memanfaatkan anjloknya harga saham sebagai bukti bahwa perusahaan gagal menanggapi berita buruk yang membayangi.
Sepengetahuannya, seruan kepada investor untuk mengajukan gugatan class action sekuritas cukup umum di AS. Namun, kebanyakan kasus tidak sampai ke pengadilan.
Salah satu yang berencana mengajukan gugatan class action yakni perusahaan litigasi hak pemegang saham Firma Hukum Schall. Mereka berfokus pada apakah Grab mengeluarkan pernyataan palsu dan/atau menyesatkan atau gagal mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan investor.
Sedangkan perusahaan litigasi sekuritas Pomerantz Law Firm menyelidiki apakah Grab dan pejabat dan/atau direkturnya terlibat dalam penipuan sekuritas atau praktik bisnis yang melanggar hukum.
Bulan lalu, Pomerantz meminta pemegang saham induk Shopee Sea menghubungi perusahaan. Sebab, mereka mengumumkan niatnya untuk menyelidiki raksasa teknologi asal Singapura ini untuk alasan yang sama.
Berdasarkan statistik dari basis data Securities Class Action Clearinghouse Stanford Law School, 211 kasus class action sekuritas diajukan di pengadilan federal dan negara bagian tahun lalu. Jumlahnya menurun dibandingkan 2020 sebanyak 319.
Sejak awal tahun ini, 35 kasus telah diajukan.
Namun, jumlah pengajuan yang melibatkan perusahaan akuisisi bertujuan khusus atau SPAC meningkat signifikan. Grab mencatatkan saham perdana atau IPO di AS lewat merger dengan SPAC.
Prof Loh menyoroti bahwa Grab harus selalu siap untuk mempertahankan tindakan dan mengungkapkan informasi secara ketat dalam menjalankan bisnis, bukan hanya karena ada potensi gugatan class action.
"Langkah (perusahaan selanjutnya) harus bergantung pada perselisihan spesifik di setiap gugatan class action yang mungkin muncul. Akan tetapi, satu hal yang jelas yakni pasti ada banyak keluhan tentang penurunan harga saham yang besar setelah daftar SPAC,” ujar dia.