Kudo, yang kini bernama GrabKios, memiliki dua juta lebih mitra per pertengahan tahun lalu. Perjalanan untuk menggaet jutaan warung digital tersebut bukan perkara mudah. Bahkan, startup ini sempat khawatir harus mengimpor jutaan tablet atau komputer pribadi layar sentuh nirkabel.

Agung Nugroho dan Albert Lucius merintis Kudo sejak 2014 ketika mereka masih kuliah di University of California, Berkeley, Amerika Serikat (AS). Ini berawal dari tugas mata kuliah kewirausahaan atau entrepreneurship.

Keduanya kemudian mencari investor untuk mengembangkan ide dari tugas kuliah tersebut. Calon penanam modal yang mereka temui rerata bukan warga atau perusahaan Indonesia.

“Seminggu sebelum selesai kuliah dan mau kembali ke Indonesia, kami bertemu Willson Cuaca di AS,” kata Agung dalam program serial podcast Impacttalk yang dirilis oleh Impactto belum lama ini. Willson merupakan pendiri dan Managing Partner East Ventures.

East Ventures ikut mendanai banyak startup di Indonesia dan Asia Tenggara. Beberapa di antaranya Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, Warung Pintar, Cohive, Sociolla, IDN Media, dan Fore. East Ventures juga menjadi investor yang paling aktif menyuntik modal perusahaan rintisan di ASEAN. Rinciannya sebagai berikut:

“Padahal sebelumnya kami benar-benar mencari. Memang rata-rata west investor. Kami bilang mau mendukung pedagang warung kelontong. Mereka tidak paham konteksnya. Begitu bicara dengan East Ventures, langsung mengerti,” ujar Agung.

Agung dan Albert pun mulai mengembangkan produk sejak pertengahan 2014. Kemudian mereka meluncurkan layanan penjualan produk digital seperti voucer, tiket, bayar tagihan, hingga pulsa pada Januari 2015.

Saat itu, stand kios Kudo ada di mal ciputra. Namun hanya ada tiga pengunjung dalam sehari. Hari berikutnya lebih sedikit lagi. Agung bertanya kepada pengunjung mengenai alasan tidak ke stand kios Kudo. “Mereka menjawab, ‘saya tidak mengerti bang. Kalau pegang (perangkat) takut rusak’,” kata Agung.

Kudo pun menyewa dua sales promotion girl atau SPG pada hari ketiga. Jumlah pengunjung mulai meningkat. Namun tidak ada yang membeli produk.

Setelah dua minggu membuka stand kios, Agung dan Albert mengganti strategi dengan menggaet lebih banyak SPG. Mereka berkeliling membawa perangkat tablet untuk menjelaskan dan menawarkan produk kepada pengunjung mal.

Transaksi pun dibukukan. “Dari modal bisnis ini, kami tahu bahwa yang paling penting adalah kepercayaan. Orang harus tahu dulu ini apa? Baru mau membeli,” ujar Agung.

Kudo kemudian menyediakan lebih banyak perangkat tablet ukuran 12 inci dan menggaet SPG. Penjualan terus meningkat dari puluhan menjadi ratusan. Konsumen yang paling banyak membeli produk digital di Kudo yakni para penjaga toko di mal.

Kudo pun memperluas pasar dari mal ke warung kelontong. Startup ini menyediakan perangkat tablet kepada para pemilik warung.

Sekitar enam bulan Kudo menerapkan model bisnis tersebut. Kemudian mulai mengganti perangkat menjadi tablet 16 inci. “Kemudian kami menyadari bahwa kami harus mengimpor 10 ribu tablet ke Indonesia. Kalau untuk meningkatkan skala bisnis, kami harus mengimpor 30 ribu sampai 50 ribu. Bagaimana caranya?” ujar Agung.

kudo (Instagram/kudo_indonesia)

Dari situ, Agung dan Albert baru mengembangkan aplikasi. Prosesnya enam sampai delapan bulan. Setelah menerapkan aplikasi, pertumbuhan transaksi Kudo melonjak drastis. “Dulu kami pikir transaksi puluhan atau ratusan itu sudah bagus. Akhirnya bisa ratusan ribu,” katanya.

Pada 2014, warga Indonesia memang belum terbiasa menggunakan aplikasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari. Gojek pun baru merilis aplikasi pada 2015. 

Pada 2010, jumlah pengguna internet di Indonesia memang hanya 42 juta berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Kemudian meningkat dua kali lipat pada 2014 menjadi 88,1 juta, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini:

Kini jumlahnya mencapai 204,7 juta. Pengguna internet di Indonesia pun termasuk yang terbanyak di Asia.

Sejalan dengan melonjaknya jumlah pengguna internet di Tanah Air, bisnis Kudo makin berkembang. Startup ini kemudian diakuisisi oleh Grab pada 2017. Lalu Kudo berubah menjadi GrabKios pada September 2019. Dengan perubahan ini, GrabKios menambah produk seperti kirim paket, berinvestasi emas hingga umrah melalui warung.

Grabkios (Grab)

Agung mengakui ada banyak hal baru sejak bergabung dengan Grab. "Kami bisa menambah banyak kesempatan untuk agen. Teknologi kami juga bisa masuk dan berkembang di Asia Tenggara," katanya pada Agustus 2019.

Bisnis warung yang digarap oleh GrabKios juga dilirik oleh banyak investor. Perusahaan investasi milik pendiri Amazon Jeff Bezos, Bezos Expeditions, bahkan berinvestasi di dua startup digitalisasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia, yakni Ula dan Lummo.

Ketua Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia Jefri R Sirait mengatakan, jumlah UMKM di Indonesia yang mencapai 64 juta, menarik bagi investor global dan lokal. "Pasarnya besar. Dengan begitu, mereka bisa jadi pengendali," kata Jefri kepada Katadata.co.id, pada Februari (17/2).

Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani mengatakan, salah satu pasar UMKM yang paling banyak diincar adalah warung. "Digitalisasi warung dan sektor apapun yang terbantukan dengan teknologi akan disasar," katanya.

Berdasarkan riset perusahaan sekuritas CLSA pada September 2019, warung berkontribusi 65% - 70% terhadap transaksi retail nasional.

Sedangkan riset Euromonitor International menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia, India, dan Filipina pun berbelanja di toko kelontong. Transaksinya mencapai US$ 479,3 miliar atau 92% dari total nilai pasar retail US$ 521 miliar tahun lalu.

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan, Antara