Startup budidaya unggas Chickin meraih pendanaan awal (seed funding). Investasi ini dipimpin oleh East Ventures.
Jumlah pendanaannya tidak disebutkan. “Kami yakin dengan misi ini dan percaya bahwa solusi yang dihadirkan oleh tim Chickin akan membawa peluang ekonomi yang lebih besar bagi para peternak ayam,” kata Partner East Ventures Melisa Irene dalam keterangan pers, Jumat (15/7).
Menurutnya, agrikultur merupakan salah satu sektor yang kurang terdigitalisasi. Namun bidang ini berperan penting terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Sektor ini memiliki potensi yang sangat besar, mengingat ayam merupakan salah satu kebutuhan pokok untuk konsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia,” ujar Melisa.
Chickin didirikan oleh Ashab Alkahfi sebagai president), Tubagus Syailendra yang menjabat Chief Executive Officer (CEO), serta Chief Technology Officer (CTO) Ahmad Syaifullah pada 2020.
Mereka sebelumnya aktif terlibat dalam membudidayakan ayam sebagai peternak dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan pengalaman tersebut, mereka menyadari inefisiensi dalam budidaya ayam.
Ketiganya juga memahami bahwa industri itu sangat terfragmentasi. Selain itu, siklus panen dan konsumsi ayam bergerak sangat cepat, sehingga mengakibatkan supply dan demand tidak terkendali.
Startup Chickin bertujuan mendemokratisasikan industri perunggasan. Caranya, memanfaatkan dan mengintegrasikan teknologi Internet of Things (IoT) dengan manajemen data untuk meningkatkan pendapatan peternak.
Mereka yakin, teknologi yang mereka sediakan dapat menghemat biaya pakan melalui pengendalian iklim.
Selain itu, Chickin menyediakan pembiayaan dalam input peternakan.
Perusahaan rintisan itu juga menyediakan saluran untuk menjual ayam berkualitas tinggi kepada pelanggan business-to-business (B2B).
Chickin melakukan transparansi data dengan mencocokan pasokan dan permintaan. Sebab, biasanya terdapat kemungkinan besar ketidaksesuaian yang mengakibatkan masalah pada ketersediaan dan kualitas pasokan di industri perunggasan.
Startup itu memberikan solusi teknologi berupa perangkat lunak (software) berbasis komputasi awan (cloud bagi para peternak. Ini memungkinkan peternak melakukan manajemen budidaya dengan dashboard monitoring.
Peternak juga bisa melakukan transparansi pengawasan ternak dan menggunakan alat manajemen kandang.
Selain itu, Chickin memproduksi hardware dengan integrasi IoT dalam menciptakan FCR atau Food conversion ratio yang optimal. Hardware ini memungkinkan penyesuaian dan pengaturan iklim yang cocok untuk ayam dalam memastikan peningkatan produktivitas.
“Semua alat itu diciptakan seefisien mungkin, terjangkau oleh para peternak, dan mudah digunakan. Kami memiliki tujuan besar untuk menciptakan ketahanan pangan dalam konsumsi ayam broiler di Indonesia,” kata Ahmad.
Chickin akan menggunakan dana segar itu untuk berfokus meningkatkan pertumbuhan, sumber daya manusia, teknologi, akuisisi mitra, dan pemberdayaan peternak. Ini bertujuan memastikan kualitas dan tingkat produksi maksimal.
Startup itu mengakuisisi lebih dari 150 lokasi peternakan dengan kapasitas populasi lebih dari 2,6 juta ayam. Chickin juga menggaet lebih dari 200 klien yang terdiri dari berbagai merek food and beverage (F&B), food catering, bahkan food processing.
Pertumbuhan pendapatan Chickin lebih dari 50 kali lipat dalam setahun terakhir.
“Kami sadar bahwa ayam merupakan protein hewani yang dapat dikonsumsi oleh semua orang. Dengan total pasar domestik yang sangat besar dan pertumbuhan konsumsi tahunan 16% berdasarkan tren historis selama lima tahun terakhir,” ujar Tubagus.
“Chickin memiliki misi untuk menjangkau pasar potensial yang belum tergarap di industri perunggasan. Kami bermitra dengan beberapa pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir untuk memasuki pasar melalui ekosistem yang kami buat,” tambah dia.