Pengemudi ojek online menggelar demo di Gedung DPR kemarin (30/8) dengan salah satu tuntutan yakni ingin menjadi pegawai. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyerahkan hal ini kepada pengemudi dan aplikator seperti Gojek, Grab, dan Maxim.
“Hal ini kami serahkan pada kedua belah pihak,” kata juru bicara Kemenhub Adita Irawati kepada Katadata.co.id, Selasa (30/8).
Ia menyampaikan bahwa perhatian utama Kemenhub yakni keselamatan dan manfaat ekonomi. “Faktor keselamatan dapat terus dijaga. Pada saat yang sama kemitraan kedua belah pihak memberi manfaat ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Adita.
Di Indonesia, pengemudi taksi dan ojek online bersifat kemitraan, bukan karyawan tetap. Operasional pengemudi sebagai mitra diatur oleh perusahaan.
“Kalau tidak patuh, perusahaan langsung mendisiplinkan lewat aplikasi. Ini membuat pengemudi sulit menerima order,” kata Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafariel kepada Katadata.co.id, awal tahun lalu (23/3/2021).
“Kalau penumpang tidak puas, bisa mengadu dan akun mitra ditangguhkan (suspend),” ujar dia.
Oleh karena itu, ADO berharap pengemudi taksi dan ojek online di Indonesia bisa menjadi karyawan. Taha mengatakan, asosiasi pernah mengkaji potensi ini.
“Tetapi, kami bisa membayangkan akan sulit karena (sepertinya) tidak dapat dukungan banyak pihak,” ujar Taha.
Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono juga berharap, pengemudi ojek online di Tanah Air bisa menjadi karyawan. Ia usul agar perusahaan aplikasi membuat dua skema yakni mitra dan karyawan.
Ia mencontohkan, pengemudi yang menjadi mitra selama satu atau dua tahun dengan prediksi baik atau tanpa banyak keluhan, maka bisa mengajukan diri menjadi karyawan.
“Ini agar kesejahteraan dan jaminan bekerja terjamin dengan adanya sistem pengupahan karyawan,” kata dia kepada Katadata.co.id, tahun lalu.
Apalagi, UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mengatur hubungan kerja berupa mitra. Alhasil, perlindungan dan kesejahteraan mitra pengemudi tak diatur di UU ini.
Sedangkan penghasilan pengemudi taksi dan ojek online di Indonesia dihitung berdasarkan jarak tempuh dan insentif dari perusahaan. Tarif per kilometer diatur oleh Kemenhub.
Rincian tarif ojek online sebagai berikut:
- Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) atau zona dua tarifnya Rp 2.250-Rp 2.650 per kilometer
- Zona satu terdiri dari Sumatera, Bali, serta Jawa selain JabodetabekRp 1.850 - Rp 2.300 per kilometer
- Zona tiga yakni Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua tarifnya Rp 2.100 - Rp 2.600 per kilometer
Sedangkan tarif taksi online sebagai berikut:
- Wilayah I yang meliputi Sumatera, Jawa dan Bali Rp 3.500 - Rp 6.000 per kilometer
- Wilayah II termasuk Nusa Tenggara dan Kalimantan Rp 3.700 - Rp 6.500 per kilometer
Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setyadi pernah mengatakan, wacana mengubah status pengemudi taksi dan ojek online dari mitra menjadi karyawan pernah dibahas. Rencana ini muncul karena Gojek dan Grab merekrut banyak mitra.
Kementerian pun membahas potensi perubahan status itu ketika merancang peraturan tentang taksi online pada 2017. Aturan itu kemudian dicabut oleh Mahkamah Agung (MA).
Lantas, hal itu dibahas lagi saat Kemenhub mengkaji Permenhub Nomor 118 Tahun 2018. “Saat itu pernah diwacanakan. Kalau merekrut (mitra pengemudi) seperti menarik karyawan. Itu sudah dibahas, tapi tidak bisa,” katanya kepada Katadata.co.id, pada September 2019.
Gojek dan Grab bukan murni perusahaan transportasi. Kedua startup bervaluasi lebih dari US$ 10 miliar ini merupakan penyedia layanan on-demand. Oleh karena itu, bisnis mereka berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Sedangkan mantan Menteri Kominfo Rudiantara sempat menjelaskan, status pengemudi taksi ataupun ojek online tergantung pada ekosistem layanan. “Tergantung model bisnis yang mau dipakai dan ekosistemnya,” kata dia di Jakarta, September 2019.
Di Indonesia, Gojek dan Grab merupakan pengembang aplikasi super (superapp). Alhasil, layanannya bukan hanya berbagi tumpangan, tetapi juga logistik, pesan-antar makanan, fintech hingga konten digital.
Oleh karena itu, kedua decacorn tersebut disebut sebagai perusahaan aplikasi, bukan transportasi. Pengemudinya pun disebut mitra, bukan karyawan.
Yang terbaru, Gojek, Grab, dan Maxim membahas revisi Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) bersama Komisi V DPR pada Maret 2022. Mereka bicara soal tarif ojek online dan status pengemudi.
Ketua Komisi V DPR Lasarus mengatakan, UU LLAJ masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini. Menurutnya, ada sejumlah isu yang akan dibahas dalam aturan itu.
"Misalnya, terkait keberadaan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek, dengan memakai teknologi informasi," ujar Lasarus dalam RDPU Komisi V DPR, pada Maret (28/3). “Ada juga terkait pola kemitraan, perpajakan hingga ketenagakerjaan.”