Untung Kecil, Banyak Startup Penyedia Sayuran Tutup di Indonesia

Economic Times
e-grocery
Penulis: Lenny Septiani
10/5/2023, 12.03 WIB

Setidaknya ada lima dari hampir 20 startup tutup sejak ada pandemi corona, bergerak di bidang penyedia bahan pokok seperti sayuran. Selain itu, dua startup sejenis menyatakan bangkrut.

Kelima startup penyedia bahan pokok yang menutup layanan ataupun lini bisnis tertentu sejak ada pandemi corona yakni:

  1. Startuppenyedia sayur dan bahan bokok Brambang tutup dan berganti model bisnis
  2. Startuppenyedia sayur dan bahan bokok Sayurbox menutup toko offline dan bisnis di dua lokasi
  3. Startuppenyedia sayur dan bahan bokok Tanihub menutup layanan business to consumer (B2C)
  4. Startuppenyedia sayur dan bahan bokok HappyFresh sempat tutup, namun beroperasi kembali setelah mendapatkan pendanaan
  5. Startup quick commerceatau belanja kilat Bananas menutup operasional dan berencana pivot

Sementara itu, dua startup sejenis yang menyatakan bangkrut yakni:

  1. Stoqo
  2. Tumbasin

Co-Founder sekaligus Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan semua inovasi memiliki risiko. “Pasti ada kegagalan, karena tidak mudah untuk membuat itu,” katanya dalam acara East Ventures Open Book & Halal Bihalal di Jakarta, Selasa (9/5).

Ia mengungkapkan masalah paling besar yang dihadapi oleh startup penyedia bahan pokok yakni:

  1. Unit ekonomis
  2. Margin yang kecil sehingga tidak untung
  3. Biaya pengantaran yang mahal

“Barang yang Fast Moving Consumer Good atau FMCG itu untungnya kecil. Setiap transaksi itu minus sebenarnya,” ujarnya.

East Ventures berinvestasi ke startup quick commerce Bananas yang akhirnya menyatakan tutup pada Oktober 2022. Padahal, startup ini baru beroperasi pada Januari 2022.

Ketua Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro menyampaikan ada dua faktor yang mempengaruhi startup tutup di bidang penyedia sayuran dan sembako, yakni:

  1. Perilaku konsumen yang sudah berubah
  2. Perilaku belanja di Indonesia berbeda dengan negara lain

Peluang dari pandemi Covid-19 diambil sebagai kesempatan besar oleh para pelaku startup. “Selama pandemi corona, konsumen tidak punya pilihan belanja selain berbelanja online,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, Senin (8/5).

Saat kasus Covid-19 di Indonesia tinggi, muncul banyak startup quick commerce. Perusahaan rintisan ini menyediakan layanan pemesanan hingga pengantaran kebutuhan pokok hitungan menit dan jam.

Hal itu menimbulkan persaingan ketat dengan pemain yang sudah mapan di pasar.

Selain itu, kini masyarakat masif berbelanja di mal. “Akibatnya, model bisnis quick commerce di Indonesia menjadi tidak berkelanjutan,” ujarnya.

Tantangan lain startup e-grocery, termasuk quick commerce yakni kesulitan menjaga kualitas dan ketersediaan produk. “Banyak startup yang sadar bahwa ada banyak kesulitan dalam menjaga kualitas dan ketersediaan produk, apalagi dalam hal startup dengan model bisnis quick commerce,” kata Eddi.

Menurutnya, startup quick commerce di Indonesia perlu berevolusi, seperti:

  • Meningkatkan efisiensi operasional dan mengoptimalkan rantai pasokan
  • Membangun merek dan reputasi yang kuat
  • Menciptakan nilai tambah bagi pelanggan
  • Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

Secara global, CB Insights pun mencatat pendanaan ke startup retail terus menurun. "Penurunan berkelanjutan dalam pendanaan teknologi ritel pada kuartal I 2023 merupakan level terendah sejak kuartal II 2016," demikian dikutip.

Rincian pendanaan ke startup retail secara global sebagai berikut:

Pendanaan ke startup retail secara global (CB Insights)
Reporter: Lenny Septiani