Ribuan Ojol Demo Tolak Jam Kerja Diatur dan Minta Jadi Karyawan

ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc.
Sejumlah pengemudi ojek online melakukan unjuk rasa menuntut penyesuaian tarif di ruas Jalan Jendral Sudirman, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (3/10/2023).
Penulis: Lenny Septiani
10/10/2023, 16.57 WIB

Pengemudi ojek online atau ojol berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Selasa (10/10). Mereka menolak kebijakan mengatur jam kerja, dan meminta status mitra diubah menjadi karyawan.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia atau SPAI Lily Pujiati menyampaikan, jumlah pengemudi ojol yang mengikuti demo sekitar 1.500. Aksi ini diikuti oleh berbagai organisasi ojek online di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek, di antaranya:

  1. SPAI
  2. Maluku Online Bersatu Nusantara
  3. Go Graber Indonesia
  4. Pejuang Aspal Nusantara
  5. Aliansi Ojol Indonesia
  6. Garis Keras Maxim Jabodetabek

Lily menyampaikan, Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemenaker berencana membuat aturan terkait kemitraan atau tenaga kerja luar hubungan kerja (TKLHK). Beberapa media melaporkan, setidaknya ada lima poin yang diatur dalam regulasi anyar tersebut, di antaranya:

  1. Ada persyaratan kerja, seperti minimal berusia 18 tahun dan memenuhi kualifikasi
  2. Imbal hasil mencakup komisi, insentif atau bonus yang harus disepakati oleh perusahaan dengan mitra pengemudi taksi dan ojek online alias ojol
  3. Jam kerja, tidak boleh lebih dari 12 jam per hari. Jika lebih, maka aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim, dan inDrive harus menonaktifkan aplikasi driver taksi maupun ojek online atau ojol.
  4. Jaminan sosial. Aplikator wajib mendaftarkan driver taksi maupun ojek online alias ojol dan kurir dalam program jaminan sosial sebagai peserta bukan penerima upah.
  5. Keselamatan dan kesehatan kerja. Ada syarat-syarat terkait keselamatan dan kesehatan kerja.

SPAI menolak rencana Kemenaker mengatur jam kerja pengemudi taksi dan ojek online alias ojol. “Sebab, tanpa adanya kepastian pendapatan,” kata Lily kepada Katadata.co.id, Selasa (10/10).

Setidaknya ada tiga tuntutan pengemudi taksi maupun ojek online alias ojol terkait jam kerja, yakni:

  1. Tolak rencana Kemenaker yang akan membatasi jam narik ojol selama 12 jam 
  2. Tolak rencana Kemenaker yang akan mematikan aplikasi ojol selama satu hari dalam seminggu 
  3. Tolak rencana Kemenaker yang akan mematikan aplikasi ojol selama 30 menit setelah dua jam onbid

Terlebih lagi, jika regulasi tersebut masih menetapkan pengemudi taksi dan ojek online alias ojol sebagai mitra aplikator, bukan karyawan. Maka pengaturan jam kerja bisa berdampak terhadap pendapatan mereka.

Dalam demo kali ini, para pengemudi taksi maupun ojek online alias ojol juga mengeluhkan perbedaan tarif layanan berbagi tumpangan atau ride hailing dengan pengantaran makanan maupun barang.

“Ini diperparah dengan aturan tarif Rp 5 ribu untuk pengantaran makanan,” ujar Lily. Menurutnya, kebijakan terkait tarif dan diskon pengiriman ini mengeksploitasi mitra driver taksi maupun ojek online alias ojol.

“Tarif dan diskon tersebut belum menghitung macet, penutupan jalan, banjir, bensin, serta waktu dan tenaga yang ditanggung oleh pengemudi,” Lily menambahkan.

Belum lagi, aplikator bisa memberikan sanksi berupa suspend atau pembekuan akun sementara, denda hingga pemutusan mitra. Skema ini dinilai merugikan pengemudi.

Oleh karena itu, ia mereka juga menuntut agar status pengemudi taksi maupun ojek online alias ojol diubah dari mitra menjadi karyawan.

“Dengan begitu, kami bisa mendapatkan kepastian pendapatan dengan adanya upah minimum, kondisi kerja yang layak delapan jam kerja, empat jam lembur dalam enam hari kerja, dan hak-hak sebagai pekerja sesuai UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Reporter: Lenny Septiani